Opini

Perbaikan Tata Kelola Sektor Pertambangan Kunci Stabilisasi Perekonomian NTB

Dalam 15 tahun terakhir, setiap gubernur NTB pernah mendapatkan bonus pertumbuhan ekonomi karena tambang, sekaligus mengalami kontraksi pertumbuhan.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Lalu Pahrurrozi, ST, MIE 

Oleh: Lalu Pahrurrozi, ST, MIE
*Penggemar Data Statistik, Analis Kebijakan Nusra Institute
 
Sejauh ini, sektor pertambangan ini semacam uang kaget dalam perekonomian NTB. Ketika produksi tambang meningkat, pertumbuhan ekonomi NTB langsung melejit, bahkan pada tahun 2015 saat pertumbuhan sektor pertambangan tumbuh di atas 100 persen, pertumbuhan ekonomi NTB melejit dua digit ke 21,76 persen. 

Saat pertumbuhan ekonomi tahunan di atas 5 persen, hampir bisa dipastikan sumber utama pertumbuhan pada tahun itu berasal dari sektor pertambangan.
 
Sebaliknya, jika produksi tambang berkurang, perekonomian NTB langsung batuk-batuk, mengalami kontraksi, misalnya tahun 2011 perekonomian melemah (-3,91 persen), tahun 2012 perekonomian turun (-1,54 persen), tahun 2018, saat awal Doktor Zul memimpin, perekonomian NTB jatuh lebih dalam lagi (-4,5 persen). 

Satu-satunya kontraksi perekonomian yang disebabkan oleh sektor non-tambang yaitu pada tahun 2020, perekonomian NTB melemah (-0,62 persen) disebabkan karena Covid-19 yang mengguncang perekonomian dunia.
 
Jadi dalam 15 tahun terakhir, setiap gubernur NTB pernah mendapatkan bonus pertumbuhan ekonomi karena tambang, juga sekaligus mengalami kontraksi pertumbuhan, akibat menurunnya produksi sektor pertambangan. 

Baca juga: Menjernihkan Kontribusi Sektor Pertambangan untuk  Pertumbuhan Ekonomi NTB

Di era TGB mengalami kontraksi tahunan sebanyak dua kali dalam 10 tahun kepemimpinannya, dan Doktor Zul mengalami kontraksi ekonomi dua kali dalam 5 tahun kepemimpinannya, dan tahun 2018 adalah kontraksi terdalamnya, -4,5 persen. Semoga rekor kontraksi ini tidak terulang pada masa mendatang.
 
Tentu Pemprov NTB perlu segera berbenah, biar fenomena uang kaget ini menjadi berkah, biar berkah pertambangan, bisa dikelola bukan hanya sebagai sumber pendapatan daerah, tapi juga bisa ditata untuk mendorong stabilisasi ekonomi, juga mendorong perubahan sosial ekonomi masyarakat yang lebih signifikan. Kira-kira, apa saja yang perlu dilakukan?
 
Pertama, pemerintah perlu mendorong percepatan operasionalisasi smelter sampai titik pengolahan yang optimal. 

Operasionalisasi smelter tentu akan memberikan nilai tambah bagi perekonomian NTB, dengan mendorong sektor industri pengolahan tumbuh lebih tinggi. 

Jika nilai sektor tampangnya mencapai 30-40 triliun setiap tahunnya, maka potensi nilai tambahnya diatas nilai bahan mentahnya. 

Dengan asumsi tersebut, maka potensi pertumbuhan ekonomi NTB bisa melampaui  dua digit yang akan membuka banyak lapangan pekerjaan baru.
 
Kedua, pemerintah pusat baru saja meratifikasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 tahun 2025 mewajibkan eksportir untuk menempatkan 100 persen Devisa Hasil Ekspor (DHE) SDA dalam sistem keuangan nasional selama 12 bulan dalam rekening khusus di bank nasional. 

Kebijakan ini tentunya akan memperkuat cadangan devisa nasional dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Lho, apa manfaatnya untuk NTB

Tentu banyak manfaat yang dapat diterima oleh daerah secara tidak langsung dengan stabilisasi nilai rupiah, utamanya bagi NTB yang ingin mengembangkan sektor industrinya lebih serius. 

Apalagi, jika dana Devisa Hasil Ekspor (DHE) tersebut disimpan di Bank NTB Syariah, dampaknya akan lebih dahsyat lagi.
 
Ketiga, pemerintah perlu melakukan reformasi struktur perekonomian NTB

Agenda ini tidaklah mudah, dan selama ini terkesan “kurang diurus”. Dengan nilai sektor pertambangan mencapai 30-40 triliun setiap tahunnya, tidak mudah untuk merangsang pertumbuhan sektor perekonomian lainnya dengan nilai sebesar itu. 

Tapi skenario ini secara serius ingin dibangun oleh Pemerintahan Iqbal Dinda, dengan menyisir potensi desa melalui Desa Berdaya, menekankan ketahanan pangan yang akan membangkitkan 35 persen tenaga kerja di sektor ini, fokus industrialisasi komoditas lokal yang melimpah dan juga pengembangan pariwisata yang berkelas dunia.
 
Semuanya tidak mudah, semuanya perlu waktu, semuanya memerlukan partisipasi dari seluruh elemen pembangunan. Tapi seperti meminjam “mantra sakti” kawan lama saya. Semuanya dimulai dari langkah pertama.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved