Berita Lombok Timur

Mendorong Pembangunan Inklusif di Lombok Timur, LRC Gelar Dialog Publik dalam Rangka IWD 2025

Acara ini menjadi wadah bagi masyarakat untuk berdiskusi langsung dengan wakil rakyat dan pemerintah guna mendorong percepatan pembangunan inklusif

Penulis: Rozi Anwar | Editor: Idham Khalid
TRIBUNLOMBOK.COM
DIALOG - Foto bersama para peserta dialog publik bertajuk “Curhatnya Rakyat: Membangun Dialog Mempercepat Aksi Pembangunan Inklusif” yang diadakan oleh Lombok Research Center (LRC), Sabtu (8/3/2025). Kegiatan ini sebagai refleksi memperingati International Women’s Day (IWD) 2025. 

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR – Memperingati International Women’s Day (IWD) 2025, Lombok Research Center (LRC) menggelar dialog publik bertajuk “Curhatnya Rakyat: Membangun Dialog Mempercepat Aksi Pembangunan Inklusif” di Lombok Timur, Sabtu (8/3/2025).

Acara ini menjadi wadah bagi masyarakat untuk berdiskusi langsung dengan wakil rakyat dan pemerintah daerah guna mendorong percepatan kesetaraan gender serta pembangunan inklusif di Lombok Timur.

Dialog ini dihadiri langsung oleh Ketua DPRD Lombok Timur, Muhammad Yursi, dua anggota DPRD Lombok Timur Saeful Bahri dan Dedy Awkarizal.

Pentingnya Pembangunan Inklusif

Dalam diskusi ini, Rifqi (30) penyandang disabilitias asal Masbagek Timur, menyoroti bahwa pembangunan inklusif harus mencakup seluruh kelompok, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, lansia, dan anak-anak.

"Pembangunan inklusif bukan hanya soal penyandang disabilitas, tetapi juga memastikan hak-hak perempuan terpenuhi. Kita harus menjadikannya prioritas utama agar tidak ada satu pun kelompok yang tertinggal," ujar Rifqi.

Ia juga menyoroti keterbatasan akses pendidikan bagi penyandang disabilitas. Saat ini, di Lombok Timur hanya terdapat sembilan Sekolah Luar Biasa (SLB)—tiga negeri dan enam swasta. Padahal, jumlah penyandang disabilitas di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 130.000 orang pada 2022, sehingga fasilitas pendidikan inklusif masih jauh dari cukup.

Selain itu, diskriminasi di dunia kerja juga masih menjadi tantangan besar.

"Stigma masih melekat kuat di masyarakat, seolah-olah penyandang disabilitas tidak memiliki kemampuan. Padahal, jika diberikan kesempatan dan akses yang setara, mereka bisa berkontribusi seperti yang lainnya," tambahnya.

Tantangan Kebijakan dan Kendala Anggaran

Di sisi lain, anggota DPRD Lombok Timur, Saeful Bahri, mengakui bahwa meskipun regulasi terkait inklusivitas telah ada, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala, terutama dalam hal anggaran.

"Kebijakan inklusif untuk perempuan dan penyandang disabilitas sebenarnya sudah memiliki porsi dalam regulasi. Tinggal bagaimana kita bisa memaksimalkannya melalui pengawasan dan edukasi," jelas Saeful.

Namun, ia menegaskan bahwa keterbatasan anggaran daerah menjadi hambatan utama dalam membangun ruang inklusif bagi kelompok marginal.

Ketua DPRD Lombok Timur, Muhammad Yusril, juga menyoroti pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih ramah bagi penyandang disabilitas dan perempuan.

"Memang angka disabilitas dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak cukup tinggi. Saat ini kita hanya punya sembilan SLB, sementara jumlah penduduk Lombok Timur mencapai 1,4 juta jiwa dengan sekitar ribuan penyandang disabilitas. Seharusnya, setiap sekolah umum bisa menjadi sekolah yang ramah bagi penyandang disabilitas," jelasnya.

Ia juga mendorong agar regulasi yang sudah ada benar-benar diterapkan dalam kebijakan daerah.

"Ke depan, kita harus lebih serius dalam mendorong peraturan bupati (Perbup) dan peraturan daerah (Perda) terkait inklusivitas, terutama dalam program-program yang benar-benar memberikan dampak bagi perempuan dan penyandang disabilitas," tambah Yusril.

Regulasi yang Sudah Ada, Political Will yang Minim

Direktur LRC, Dr. Maharani, menyoroti bahwa regulasi di Lombok Timur sebenarnya cukup lengkap untuk mendukung pembangunan inklusif.

Salah satunya adalah Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Disabilitas, Perempuan, dan Anak di Kabupaten Lombok Timur.

"Kita sudah punya Perda Nomor 5 Tahun 2023 tentang pemberdayaan perempuan, disabilitas, dan masyarakat rentan lainnya. Selain itu, ada juga Perda tentang pemberdayaan buruh migran dan Kabupaten Layak Anak. Secara regulasi, kita sangat lengkap," ungkapnya.

Namun, ia menegaskan bahwa tantangan terbesar adalah kurangnya political will dari pemangku kebijakan dan minimnya anggaran yang dialokasikan untuk program inklusif.

“Bayangkan, selama tiga tahun terakhir, anggaran untuk program pemberdayaan perempuan dan anak hanya naik Rp50 juta. Bahkan, anggaran Kabupaten Layak Anak tetap stagnan di Rp18 juta. Sementara itu, angka kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus meningkat setiap tahun," tegasnya.

Lebih lanjut, Maharani mengkritik minimnya fasilitas perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

"Kita tidak punya rumah aman, padahal banyak sekali gedung kosong yang bisa dimanfaatkan. Kenapa tidak?" ujarnya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved