Kebijakan Nasional
Fitra Kritisi Rencana Prabowo Alihkan Subsidi BBM ke BLT
FITRA mengkritisi rencana pemerintahan Prabowo Subianto untuk merubah subsidi BBM menjadi Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Penyebab subsidi solar BBM tidak sampai ke nelayan, pertama karena pendataan nelayan oleh Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) sangat lambat.
Selanjutnya, nelayan kecil mengalami diskriminasi karena dibebani dengan persyaratan administrasi yang rumit untuk memperoleh subsidi BBM, ditengah layanan administrasi perijinan yang masih buruk di daerah.
Akibatnya, surat rekomendasi pembelian BBM sulit diperoleh nelayan. Padahal mereka yang punya kendaraan tidak ada syarat khusus saat membeli BBM. Yang paling buruk nasibnya adalah nelayan kecil dengan ukuran kapal di bawah 10 GT, karena harus bersaing dengan pemilik kapal yang lebih besar. Dari realisasi tiap tahun sebesar 26 persen, yang menggunakan BBM subsidi adalah pemilik kapal besar ukuran 10-30 GT.
"Lebih-lebih lagi untuk nelayan yang di wilayah Timur Indonesia. Umumnya mereka menggunakan pertalite tapi juga dengan kondisi serupa, sulit diakses karena umumnya jauh dari lokasi aktivitas nelayan. Dalam banyak kasus, yang tersedia justru cuma Pertamax dan nelayan kecil terpaksa membelinya. Saya kira Pak Menteri Bahlil mesti benar-benar memikirkan ini untuk membantu rakyat kita di Kawasan Wallacea sampai ke sekitar Papua, " ujar pria kelahiran Pulau Sumbawa, NTB ini.
Faktor lainnya yang jadi determinan ialah masih sangat minimnya infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar khusus nelayan yang dapat diakses dengan mudah.
Jumlah SPBUN yang tersedia hanya 380 atau cuma 3 persen dibanding jumlah desa pesisir yang mencapai. 11.984 desa. Situasi ini diperparah oleh kuota BBM subsidi yang terbatas, tidak sesuai dengan kebutuhan melaut nelayan pada setiap daerah.
Menurut Ervyn, pihaknya tidak dalam posisi menerima atau menolak rencana pemerintah tersebut. Yang diharapkan adalah agar kebijakan yang diambil dihitung baik-baik.
"Maksud saya begini Jika subsidi nelayan dialihkan ke BLT, apa nelayan kecil kita yang jumlahnya 95 persen dari total nelayan nasional itu berhenti melaut, tidak bukan? Itu berarti BBM harus tetap disediakan,” ungkapnya.
“Begitu pula SPBU/N untuk mendistribusikan BBM untuk nelayan kecil harus dibangun lebih cepat lagi agar nelayan kita mudah mengakses BBM. Tujuannya agar mereka bisa lebih besar produksinya dan itu membantu perekonomian negara tumbuh inklusif,” terang Ervyn.
Menurutnya, pemerintah harus lebih progesif, kerja lebih cepat kalau memang berpihak kepada rakyat.
“Tapi isu yang paling penting bukankah jika tak ada subsidi BBM mereka akan semakin terpuruk jika terjadi kenaikan harga BBM karena tidak ada subsidi sebagai shock breakernya,” kata Ervyn.
Ia menegaskan jangan sampai pemerintah dianggap lepas tanggungjawab. Di sisi lain, jika pemerintah mau beralih ke BLT pasti tetap butuh data yang baik agar tidak salah sasaran.
“Jadi mau beralih jadi BLT atau tidak, semuanya mesti diperbaiki," ujarnya.
Karena itu, berangkat dari implementasi kebijakan subsidi BBM sektor kelautan perikanan tersebut, Ervyn yang dikenal sebagai aktivis antikorupsi ini, menegaskan, masalahnya bukan semata soal ketidaktepatan sasaran penerima subsidi BBM.
Masalah utama terkait subsidi BBM di sektor tersebut katanya, disebabkan belum adanya kerangka industrialisasi perikanan yang berpihak kepada wong cilik, yang memampukan nelayan kecil tradisional berdaya.
(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.