Berita Nasional
Ini Poin-poin RKUHP yang Dianggap Bermasalah, Lengkap dengan Penjelasannya
draft 30 November 2022, Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang dilebur menjadi satu pasal dan menjadi delik aduan secara terbatas.
TRIBUNLOMBOK.COM - DPR RI dan pemerintah telah mengesahkan Rancangan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-undang (UU), pada Selasa (6/12/2022).
Namun pengesahan RKUHP menjadi UU ini mengundang beragam polemik di kalangan publik maupun akademisi.
Meski demikian, dalam pengambilan keputusan tingkat II yang dilakukan DPR dalam Rapar Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 terpantau berjalan lancar.
Dalam laporan Kompas.com, digambarkan saat Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad selaku pemimpin sidang bertanya ke peserta sidang.
Baca juga: Pidana Penjara Zina, Kumpul Kebo, dan Inses dalam Draf RKUHP: 6 Bulan hingga 12 Tahun
"Selanjutnya, saya akan menanyakan kepada setiap fraksi apakah rancangan undang-undang tentang kitab hukum pidana dapat disetujui?" tanya Sufmi, dikutip dari Kompas.com.
"Setuju," jawab kemudian peserta sidang, diiringi ketukan palu Dasco tanda setuju.
Sebelumnya, Dasco juga sudah menyatakan bahwa semua fraksi di DPR menyepakati agar RKUHP dibawa dalam rapat paripurna.
"Kita sudah tahu bahwa semua fraksi sepakat dan fraksi PKS sepakat dengan catatan. Saya sudah memberikan kesempatan kepada Fraksi PKS untuk memberikan catatan dan kesempatan pada sidang paripurna hari ini," jelasnya.
Baca juga: Pidana Penjara Zina, Kumpul Kebo, dan Inses dalam Draf RKUHP: 6 Bulan hingga 12 Tahun
Lantas kenapa RKUHP ini masih menimbulkan beragam pro-kontra?
Simak poin-poin yang dianggap bermasalah di RKUHP menurut rangkuman LBH_Jakarta:
1. Masalah Penghinaan Pemerintah dan Lembaga Negara (Pasal 240)
Dalam draft 30 November 2022, Penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara yang dilebur menjadi satu pasal dan menjadi delik aduan secara terbatas.
Yaitu untuk penghinaan yang tidak mengakibatkan kerusuhan.
"Sedari awal kami menyuarakan untuk penghapusan pasal ini, karena tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi," tulis LBH Jakarta, Senin (5/12/2022).
Jika yang dilindungi adalah mencegah kerusuhan, pasal-pasal lain tetap dapat digunakan.
"Tidak perlu dipidana perbuatan 'penghinaan' karena akan selalu sulit dibedakan dengan kritik," sambungnya.
Poin Permasalahan
- Pasal penghinaan hanya untuk melindungi orang, bukan institusi.
- Pemerintah dan lembaga negara adalah objek kritik, yang tidak boleh dilindungi dengan pasal penghinaan.
2. Masalah Larangan Unjuk Rasa Tanpa Pemberitahuan (Pasal 256)
Dalam draft 30 November 2022, dilarang dengan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana dendan paling banyak Rp10 juta apabila demo, tanpa pemberitahuan dan mengakibatkan tergangguanya pelayanan publik.
"Perlu ditekankan bahwa pemberitahuan bukan merupakan izin, sehingga hanya perlu pemberitahuan saja ke aparat yang berwenang," tulis LBH.
Pengaturan ini sudah dimuat dalam UU 9/1998, bahwa soal unjuk rasa hanya dengan pemberitahuan.
Poin Permasalahan
- Pasal ini dianggap jauh lebih kolonial dari hukum buatan kolonial. Asal pasal ini dari Pasal 510 KUHP yang ancaman pidananya hanya pidana penjara 2 minggu.
Sedangkan dalam Pasal 256 RKUHP menjadi 6 bulan pidana penjara.
3. Masalah Pasal Subversif Kembali Muncul (Pasal 188)
Dilaporkan, Rapat Pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR pada 24 November 2022 tidak membahas mengenai perubahan pasal 188.
Pasal itu berisi tentang larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme.
Namun dalam rapat tersebut secara tiba-tiba diubah rumusan pasal dengan menambahkan larangan menyebarkan atau mengembangkan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Poin Permasalahan
- Pasal ini dinilai bermasalah karena yang dimaksud dengan "paham yang bertentangan dengan Pancasila" tak dapat dimaknai secara jelas.
Pasalnya tak ada pihak yang disebutkan berwenang menentukan suatu paham bertentangan dengan Pancasila.
- Pasal ini dinilai berpotensi dapat menghidupkan pidana subversif seperti di era Orde Baru.
4. Masalah Pengaturan Pidana Denda (Pasal 81)
Dalam draft 30 November 2022, diatur jika pidana denda tidak dibayarkan kekayaan atau pendapatan terpidana dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana dendan yang tidak dibayar.
Jika setelah penyitaan dan pelenangan pidana denda masih tidak terpenuhi maka sisa denda dapat diganti pidana penjara, pidana pengawasan, atau pidana kerja sosial.
Poin Permasalahan
- Pidana denda tidak ditujukan untuk tujuan negara memperoleh pendapatan.
Hal ini dinilai akan berpotensi membawa masalah sosial, karena orang yang dijatuhi pidana denda akan diincar harta bendanya, termasuk orang miskin.
Pun jika tidak cukup, masih harus mengganti dengan pidana penjara dan pidana lainnya.
5. Masalah Pidana Mati (Pasal 100)
Rapat Pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR pada 24 November 2022 menyepakati bahwa pemberian masa percobaan 10 tahun sebagai penundaan eksekusi pidana mati harus diberikan secara otomatis dan pada seluruh terpidana tanpa kecuali.
Dengan demikian, berdasarkan hasil kesepakatan ini, tidak perlu ada lagi pengaturan tentang hal-hal yang dipertimbangkan hakim dalam menjatuhkan masa percobaan 10 tahun tersebut, karena harus diberikan secara otomatis.
Poin Permasalahan
- Namun, dalam Pasal 100 ayat (1) poin a dan b masih dimuat komponen pertimbangan hakim tersebut.
- Sedari awal pidana mati harus dihapuskan karena dianggap tidak lagi sesuai dengan negara demokratis.
Pun juga soal masa percobaan yang seharusnya diberikan secara otomatis harus dijamin.
Bergabung dengan Grup Telegram TribunLombok.com untuk update informasi terkini: https://t.me/tribunlombok.