Opini

Ambivalensi Kesasakan; Refleksi Pahlawan Nasional dari Sasak

Mereka bermimpi tentang Sasak yang tinggi, namun orang Sasak hebat yang bukan dari kampung, keluarga, dan kelompok mereka diketepikan sesuka hati.

Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Salman Faris 

Secara khusus, untuk keperluan yang terakhir itulah, orang Sasak hingga kini tak pernah mempunyai solusi. Sekali lagi sebabnya ialah watak penghambaan kepada kampung, keluarga, dan kelompok. Padahal orang Sasak mutlak memerlukan tokoh pemersatu sebagai pusat panduan semangat tujuan mereka sampai di puncak.

Pada diri tokoh pemersatu, orang Sasak tidak dituntut untuk menjadi sama. Namun di balik perbedaan pandangan, misalnya, mereka dapat disatukan oleh tokoh tertentu. Itulah yang amat diperlukan.

Taruhlah sebagai misal, dalam konteks bulan pahlawan ini, sudah jelas ada seorang dari orang Sasak yang dikukuhkan sebagai pahlawan nasional (Hamzanwadi). logikanya, sebagai bangsa yang tak ada habis-habisnya berjuang untuk mencapai puncak, tujuan orang Sasak tersebut dapat disatukan oleh sang pahlawan nasional tanpa mereka menjadi sama.

Sepatutnya Hamzanwadi sebagai pahlawan nasional ialah momentun, ialah arus balik kesasakan yang lebih matang dalam menjadi orang Sasak. Semestinya orang Sasak yang banyak jenisnya itu, membangun kesadaran yang sama berdasarkan tokoh pahlawan nasional yang lahir dari bangsa mereka sendiri.

Orang Sasak yang sudah matang menjadikan Hamzanwadi sebagai simbol pengakuan nasional terhadap Sasak sebagai bangsa. Satu simbol bagaimana Indonesia memberikan ruang bagi orang Sasak berkipah secara lebih luas lagi di level tertinggi.

Titik kesadaran kesatuan kesasakan mutlak diperlukan namun di samping itu, mesti ada arus dan arus itu ialah pengakuan nasional terhadap orang Sasak melalui pahlawan nasional Hamzanwadi. Namun apa lacur, malahan banyak orang Sasak sendiri menilai Hamzanwadi memang pahlawan nasional dari orang Sasak, tapi hanya mewakili keluarga, kampung, dan kelompok tertentu saja. Lebih lacur lagi karena penilaian semacam itu pun, beberapa tumbuh dari kalangan cerdik pandai cendekia Sasak.

Kenapa penyatuan kesadaran itu menjadi penting? Karena orang Sasak mempunyai tujuan. Dan tujuan tersebut mereka perjuangkan secara habis-habisan sepanjang zaman.

Kecuali kalau orang Sasak mau terjajah terus, ya, wacana tentang penyatuan kesadaran melalui tokoh pahlawan nasional tidak perlu ditaburkan.

Karena itu, perlu mempertanyakan satu soalan. Apakah penyatuan kesadaran orang Sasak di bawah tokoh pahlawan nasional dari orang Sasak sudah terbangun?

Jawabnnya, tidak. Atau sekurang-kurangnya belum. Atau yang paling miris, boleh jadi ialah tidak akan terjadi. Mari kita lihat realitasnya. Hingga kini, pahlawan nasional dari orang Sasak sendiri, masih terkesan hanya milik kampung, keluarga, dan kelompok orang Sasak tertentu saja.

Karena merasa pahlawan tersebut bukan dari keluarga sendiri, maka orang Sasak yang lain masih merasa tidak perlu berpayung sebagai bangsa Sasak pada pahlawan nasional dari orang Sasak tersebut. Dengan begitu, orang Sasak malahan lebih memilih pahlawan nasional dari bangsa lain sebagai arus utama.

Begitulah rupanya orang Sasak. Pisang goreng dari luar dihormati melebihi nilai kentucky, sedangkan pisang goreng Dasang Agung yang sedapnya minta ampun itu, hanya dipandang sebagai simbol kelas rendah semata.

Maka kita dapat melihat ambivalensi kesasakan dengan seterang-terangnya. Di tengah makin banyaknya kelompok ormas yang berbasis Sasak menggaungkan kesasakan bangkit hingga ke pelosok Indonesia, mereka masih belum tercetus kesadaran kolektif untuk membuat gerakan perjuangan Sasak dengan simbol tokoh pahlawan nasional dari kalangan bangsa mereka sendiri.

Maka nampaklah, orang Sasak yang mempunyai daya juang tinggi mencapai puncak yang tinggi, namun pijakan kaki di bumi sendiri selalu dikeroposkan oleh mereka sendiri juga. Mereka bermimpi tentang Sasak yang tinggi, namun orang Sasak hebat yang bukan dari kampung, keluarga, dan kelompok mereka diketepikan sesuka hati.

Begitulah ambivalensi kesasakan itu. Bertujuan dan berjuang besar namun gagal merawat watak sendiri di rumah diri sendiri. Bermimpi Sasak satu namun hati masih dibakar cemburu sesama. Bermimpi Sasak gubernur namun banyak Sasak bertarung untuk satu orang gubernur.

Eakm kembekn terus?

Malaysia, 4 November 2022
(Menyambut Hari Pahlawan Nasional dari Bangsa Sasak)

Sumber: Tribun Lombok
Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved