Opini
Ambivalensi Kesasakan; Refleksi Pahlawan Nasional dari Sasak
Mereka bermimpi tentang Sasak yang tinggi, namun orang Sasak hebat yang bukan dari kampung, keluarga, dan kelompok mereka diketepikan sesuka hati.
Bahkan di antara mereka ada yang sudah mapan secara ekonomi dan jabatan, berkumpul dalam beberapa wadah dengan arah perahu yang sama: Kesasakan.
Kesadaran kesasakan terus dibangkitkan, dikuatkan, digerakkan agar Sasak dapat menjadi penguasa di tanah mereka sendiri. Agar orang Sasak mempunyai kehormatan yang memadai di tengah bangsa lain.
Bahkan agar orang Sasak diakui secara politik di tingkat nasional, dengan dilantiknya orang Sasak menjadi menteri, misalnya. Namun pertanyaan dasarnya ialah sama dari zaman ke zaman. Apakah orang Sasak dapat mencapai puncak yang mereka tuju?
Tentu saja, jika merujuk kepada catatan sejarah mereka sebagai bangsa, jawabannya ialah amat susah untuk mencapai tujuan puncak tersebut. Kenapa? Karena masalah orang Sasak ialah sama juga dari zaman ke zaman. Amat mudah memusuhi sesama mereka sendiri.
Permusuhan yang dilandaskan kepada yang itu-itu juga, yakni terlalu mengistimewakan kampung, keluarga, dan kelompok sendiri. Unlimited fanatik dan fetis kepada kampung, keluarga, dan kelompok.
Pengistimewaan yang menggila itu, sejatinya bukan watak genuin orang Sasak. Karena jika merujuk kepada asal-usul mereka, orang Sasak yang terbuka dan egaliter, maka dapat dikatakan, kegilaan kepada keistimewaan kampung, keluarga, dan kelompok itu merupakan buah dari gerakan politik pembelahan bambu oleh penjajah (dahulu dan kini masih sama saja).
Namun sayangnya, malahan watak itu yang sangat menonjol pada diri orang Sasak hinga kini, di tengah bertaburnya orang Sasak yang sudah cerdik pandai, cendekia Sasak yang sudah menjamur dan orang Sasak yang sebagian dari mereka mapan secara politik dan jabatan.
Nah, di situlah salah satu warna ambivalensi kesasakan benar-benar terasa. Sebagai satu contoh, jika orang luar Sasak, sebut saja turis ditanyai pandangan mereka tentang orang Sasak, jawaban mereka secara umum sama dengan penulis luar yang disebutkan di atas.
Orang Sasak yang baik, terbuka, pandai melayani tamu, sederhana, taat beragama dan watak menyenangkan lainnya. Namun pada saat bersamaan, orang luar pun akan mengernyitkan dahi dengan realitas lain di balik semua itu.
Orang Sasak mudah menyerang sesama. Mudah berperang antarsesama. Amat mudah membunuh orang. Sangat susah menyatu dalam berbeda. Amat mudah terpancing kemarahan oleh sentimen kampung, keluarga, dan kelompok.
Orang Sasak mempunyai kesabaran yang tinggi tentang diri mereka sendiri secara personal. Itulah sebabnya orang Sasak dikenal juga sebagai individu yang kuat dalam arus zaman.
Sebagai contoh, ratusan tahun dalam penistaan Hindu Karangasem Bali, orang Sasak tetap sebagai pemeluk Islam yang taat.
Namun di tengah-tengah kekuatan sebagai individu itu, jangan sekali-sekali menyinggung kampung, keluarga, dan kelompok mereka. Cerita pasti lain. Dengan mudah kebencian dan darah bertumpahan.
Kembali ke pertanyaan dasar yang sudah disinggung di atas. Apakah orang Sasak dapat mencapai puncak tujuan mereka? Jika watak ambivalen ini tak dapat dimusnahkan oleh orang Sasak, maka puncak tujuan itu akan selalu menjadi sebatas mimpi. Sehebat apa pun orang Sasak sebagai individu, mereka akan hancur juga sebagai kelompok.
Seperti yang sudah diketahui bahwa untuk mencapai tujuan puncak, banyak cara dan banyak falsafah yang diperlukan oleh suatu bangsa. Sebut saja, setiap bangsa memerlukan pemersatu di tengah severalitas mereka. Baik pemersatu dalam ideologi, pandangan, pergerakan, maupun pemersatu yang wujud dalam figur atau tokoh.