Opini
Ambivalensi Kesasakan; Refleksi Pahlawan Nasional dari Sasak
Mereka bermimpi tentang Sasak yang tinggi, namun orang Sasak hebat yang bukan dari kampung, keluarga, dan kelompok mereka diketepikan sesuka hati.
Oleh: Salman Faris (Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia)
Dalam banyak catatan penulis luar, sebut saja Wallace, Bartholomew, Ecklund, David Harnish hingga Kraan, terdapat kesamaan pandangan mereka tentang watak orang Sasak. Sangat terbuka, pandai melayani tamu, hidup dan berperilaku sederhana, taat beragama, setia kepada pemimpin, dan pekerja yang kuat, rajin, dan ulet.
Secara garis lurus, watak yang digambarkan ini merupakan syarat dasar pembangunan peradaban gemilang bagi sebuah bangsa. Bangsa besar di dunia, secara umumnya mempunyai watak seperti yang disebutkan itu.
Namun di balik watak tersebut, dalam keseluruhan sejarah perjalanan orang Sasak, dapat dikatakan yang mereka tak pernah benar-benar sampai ke puncak kejayaan. Tidak dijumpai catatan yang menerangkan bahwa orang Sasak pernah menjadi penguasa penuh di tanah mereka sendiri.
Kembali kepada catatan etnografi beberapa penulis luar di atas, pun ada kemiripan yang menggambarkan bagaimana orang Sasak berada dalam penjajahan.
Jika menilik secara lengkap, maka dapat dijumpai, sebab internal dan eksternal sebagai faktor situasi, di mana orang Sasak, di tengah-tengah watak yang sudah digambarkan itu, mereka kebanyakan berada sebagai warga kelas kedua bahkan kelas paling bawah setelah penjajah.
Baca juga: Meneladani Nilai Perjuangan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Pahlawan Nasional asal NTB
Dalam konteks kekinian sebagai kelas paling bawah setelah turis. Derajat paling rendah setelah orang kaya dari luar.
Berpijak pada realitas yang dapat diamati hingga kini dan diperkuat oleh catatan penulis luar tersebut, orang Sasak tak pernah henti-hentinya berada di tengah konflik sosial dan psikologis internal. Orang Sasak yang sangat mudah diadudomba. Orang sasak yang amat mudah memerangi sesama bangsa sendiri.
Itulah sebabnya, faktor luar tidak dilihat sebagai pemicu utama keterbelakangan orang Sasak. Jika pun orang luar, secara ilmu pengetahuan dan teknologi selangkah lebih maju dibandingkan orang Sasak, kemajuan yang lebih tersebut bukan syarat utama bagi mereka untuk dapat menjajah orang Sasak.
Syarat utama ialah kelemahan sistem sosial dan kontrol watak orang Sasak itu sendiri. Amat mudah berperang sesama sendiri. Menjunjung orang luar sepenuh tinggi. Merendahkan sesama Sasak serendah tapak kaki.
Situasi tersebut di atas, kemudian digunakan secara cerdik oleh penjajah untuk semakin membenamkan orang Sasak. Penjajah menciptakan kelas sosial dan ekonomi yang kentara.
Ada orang Sasak yang diberikan peluang menjadi elite dan dalam masa yang sama, orang Sasak yang lain dikucilkan. Situasi ini menambah watak permusuhan sesama itu semakin membara.
Seperti yang dinyatakan di atas, sebagai bangsa besar yang mempunyai watak rajin, ulet dan pekerja keras, sejatinya masih tergambar hingga sekarang. Bahkan ke belakangan ini, gaung kesasakan itu menjadi kembang telinga.
Orang Sasak begitu giat menyemburkan semangat kesasakan ini. Semangat itu ditunjukkan secara politis, kultural maupun melalui perkumpulan.
Dalam ranah politik, setiap pesta demokrasi pemilihan gubernur NTB, misalnya, orang Sasak tak habis-habis membakar semangat agar gubernur ialah orang Sasak. Orang Sasak ialah kemestian. Tidak sampai di situ, ke belakang ini cukup beragam dan banyak bermunculan perkumpulan (boleh dibaca ormas) didirikan oleh orang Sasak cerdik pandai.