Sejarah Nusantara
Sejarah Letusan Gunung Tambora dan Jejak Takhta Sultan Ismail di Kesultanan Bima
Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 silam, memiliki keterkaitan dengan jejak peralihan tahta di Kesultanan Bima.
Penulis: Atina | Editor: Robbyan Abel Ramdhon
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina
TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA BIMA - Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 silam, memiliki keterkaitan dengan jejak peralihan takhta di Kesultanan Bima.
Kembali hebohnya silsilah dan trah Kesultanan Bima saat ini, membuat sejarah peradaban Kesultanan di tanah Mbojo kembali diungkap.
Tidak hanya silsilah, tapi peristiwa-peristiwa besar yang nyaris terlupakan saat ini, kembali dibuka untuk mencari kebenaran.
Satu di antaranya, letusan Gunung Tambora yang menjadi sejarah dunia tahun 1815 silam, memiliki kaitan dengan proses pergantian pucuk kepemimpinan Kesultanan Bima saat itu.
Baca juga: Kesultanan Bima Beri Gelar Kehormatan Bumi Nae ke Ketua DPD RI La Nyalla Mattalitti
Khususnya, naiknya Sultan Ismail ke pucuk takhta Kesultanan Bima yang saat itu, baru saja diporak porandakan letusan Gunung Tambora.
Saat letusan Gunung Tambora, Kesultanan Bima sedang dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid.
Namun sang Sultan dinyatakan meninggal dunia, akibat letusan gunung yang dahsyat.
Dalam catatan sejarah, Sultan Abdul Hamid dinyatakan menderita infeksi paru-paru akibat debu letusan Tambora.
Baca juga: Wisata Bima, Mata Air Tampuro di Kaki Gunung Tambora Bima, Tempat Pemandian Para Raja
Kemudian, Sultan Ismail yang merupakan anak laki-laki dari Sultan Abdul Hamid menjadi pengganti.
"Sultan Ismail dinobatkan menjadi Sultan Bima ke-10 pada tahun 1817, dengan gelar Ismail Sayfuddin Zillullah Fill Alam, setelah bapaknya Sultan Abdul Hamid meninggal akibat infeksi paru-paru, karena debu letusan Tambora," ungkap Sejarawan muda Bima, Fahru Rizki.
Setelah menjabat sebagai Sultan lanjut Fahru, banyak hal yang harus dikerjakan Sultan Ismail.
Seperti membangun kembali keadaan Bima, yang selama satu bulan hancur akibat letusan Tambora.
Tidak hanya itu, salah satu agenda kerjanya sekitar tahun 1823 di kesultanan Bima, yakni mengirim penduduk Bima ke Dompu untuk membangun kembali ekonomi dan bercocok tanam di sana.
Dalam kondisi seperti inilah, Sultan Ismail bekerja dengan tetap menjalankan kawin mawin, hingga memiliki keturunan sendiri.