Penerapan Keadilan Restoratif Kejaksaan RI Menggeser Paradigma Keadilan Retributif

keadilan restoratif fokus pada perdamaian dan pemulihan keadaan semula dan hak korban tidak seperti keadilan retributif yang menjadi simbol pembalasan

DOK. PUSPENKUM KEJAKSAAN AGUNG RI
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI Fadil Zumhana menjelaskan pergeseran paradigma keadilan retributif menjadi keadilan restoratif. 

TRIBUNLOMBOK.COM - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI Fadil Zumhana menyampaikan bahwa paradigma hukum saat ini telah berubah.

Yakni dari keadilan retributif yang berorientasi pembalasan dan disimbolkan dengan hukum pidana sanksi yang kejam serta identik dengan pemenjaraan.

Beralih ke keadilan restoratif yang fokus pada adanya perdamaian antar pelaku dan korban, pemulihan keadaan semula dan hak-hak korban, perlindungan korban, serta mengedepankan nilai-nilai humanisme dalam proses penegakan hukumnya.

"Paradigma terdahulu bahwa hukum hanya dijadikan alat untuk mempidanakan orang, namun kini hukum dapat bermanfaat dan memberikan keadilan serta kasih sayang di tengah-tengah masyarakat," ucap mantan Kajati NTB ini, Rabu (20/7/2022).

Baca juga: Kejaksaan RI Hentikan 1.343 Kasus Melalui Keadilan Restoratif untuk Maksimalkan Pemulihan Korban

Jampidum menjadi keynote speaker dalam Webinar Nasional dengan tema “Restorative Justice sebagai Implementasi Dominus Litis Kejaksaan Republik Indonesia” yang diselenggarakan Pusat Kajian Kejaksaan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro bekerja sama dengan Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah.

Dalam ruang lingkup Kejaksaan RI, sambung Fadil, mengatakan keadilan restoratif atau restorative justice diatur dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Hal itu tertuangdalam Pasal 1 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan”.

“Restorative Justice berkembang di masyarakat dan menuntut para Jaksa hadir di tengah-tengah masyarakat untuk memberikan pengayoman, perlindungan, dan arahan saat terjadi pelanggaran hukum atau pencegahan sebelum terjadi pelanggaran hukum,” urai Fadil.

Fadil menyebut, sekitar 500 Rumah Restorative Justice dan 48 balai rehabilitasi di wilayah Kejaksaan Negeri sebagai pengembangan keadilan restoratif dan bentuk tindak lanjut agar masyarakat lebih mengenal tentang hukum serta implementasi Pedoman Jaksa Agung Nomor 18 tahun 2021 tentang Rehabilitasi Narkotika.

Baca juga: Syarat Utama dan Syarat Tambahan Pelaksanaan Keadilan Restoratif

“Pemikiran-pemikiran restoratif, rehabilitatif dan berbagai produk hukum di Kejaksaan saat ini bertujuan semata-mata agar dapat diterima di masyarakat dalam proses pelaksanaan kewenangan oleh para Jaksa,” tutup Fadil.

Webinar Nasional dengan tema “Restorative Justice sebagai Implementasi Dominus Litis Kejaksaan Republik Indonesia” dihadiri narasumber Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pudjiono, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, Asisten Tindak Pidana Umum pada Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Bayu Adinugroho Arianto, serta Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia Dr. Luhut M. Pangaribuan.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved