Bendum PBNU Jadi Tersangka KPK, Aktivis di Kota Mataram Lakukan Kajian Hukum
Ditetapkannya Benum PBNU Mardani H Maming disikapi para aktivis di Kota Mataram, NTB dengan menggelar diskusi dan kajian hukum atas kasus tersebut.
Penulis: Lalu Helmi | Editor: Sirtupillaili
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Lalu Helmi
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Bendum PBNU) Mardani H Maming ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Bendum PBNU ini pun dicekal keluar negeri oleh komisi anti rasuah tersebut.
Bendum PBNU Mardani yang juga Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ditetapkan tersangka atas kasus dugaan korupsi peralihan izin usaha pertambangan (IUP) di Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Kasus ini menjerat mantan kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu, Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo.
Kelompok aktivis di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) beraksi dengan melakukan kajian terkait kasus tersebut.
Sejumlah ahli hukum hingga praktisi hukum dihadirkan dalam diskusi yang digelar di The Sultan Food Mataram, Senin, (27/6/2022).
Baca juga: Kantor Imigrasi Sumbawa Periksa Awak Kapal M/V Bunun Glory di Benete
Diskusi ini dihadiri ratusan aktivis mahasiswa dan pemuda.
Diskusi dimoderatori Ahmad SH, menghadirkan pembicara Ahli Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram Prof Dr Amiruddin.
Tim Hukum PWNU NTB Irfan Suriadiata, Direktur Pojok NTB, M Fihiruddin, dan praktisi hukum, Herman Sorenggana.
Tim Hukum PWNU NTB Irfan Suryadiata mengatakan, dari sisi hukum Mardani H Maming tidak layak dipidana.
Jika berkaitan dengan izin pertambangan, yang harus bertanggung jawab adalah personal, dalam hal ini kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanah Bumbu.
Sementara posisi Mardani Maming saat itu masih menjabat Bupati Tanah Bumbu.
"Izin itu berdasarkan kewenangan, boleh dilakukan jika mendapat pekerjaan di bidang itu. Kalau anak buahnya main-main tentu bukan Maming berdosa. Jika Kadis bersalah belum tentu bupati tersangka," ujarnya.
Irfan mengatakan, pertanggungjawaban pidana bicara secara personal dan korporasi.
Apalagi saat ini KPK masih banyak kasus yang belum diselesaikan.
Bahkan saat pra peradilan, banyak sekali gugatan yang memenangkan pemohon dan mengalahkan KPK.
Sehingga, Irfan menilai setiap pihak yang dinyatakan bersalah oleh KPK, belum tentu akan bersalah saat pembuktian di persidangan.
"Kasus di KPK masih banyak, (banyak) penetapan tersangka gak naik, gugatan pra peradilan banyak dikabulkan. Atas nama kebenaran kita tidak boleh acuh," ujarnya.
Praktisi hukum, Herman Sorenggana mengatakan, dalam perkara yang menjerat Mardani H Maming harus diuji terlebih dahulu dugaan aliran suap.
Ada tiga tahap dalam hukum yang harus berproses untuk menguatkan seseorang bersalah atau justru tidak bersalah.
"Tahap penyelidikan berusaha menemukan alat bukti antara penyidik dengan pihak yang diduga. Dalam interaksi itulah sering kali kita merasakan ada beberapa jenis penyelesaian," ujarnya.
Baca juga: Walhi NTB Dorong KPK Evaluasi Izin Pertambangan di NTB
Selain masuk ke tahap penyelidikan, baru dilakukan tahap penyidikan.
Tahap tersebut rentan terjadi kesepakatan antara oknum jika tidak diawasi.
Baru kemudian dilanjutkan dengan tahap penuntutan terhadap terdakwa.
Sehingga menurunnya ada dua alternatif yang harus dilakukan Mardani H Maming dalam kasus tersebut.
Pertama melakukan praperadilan dan kedua menguji keterangan pelapor Mardani.
Ahli Hukum Fakultas Hukum Universitas Mataram Prof Dr Amiruddin memaparkan kasus tersebut dari sisi hukum.
Menurutnya, yang paling prinsip dari kasus tersebut adalah menemukan apa kesalahan yang dilakukan Mardani H Maming.
Dijelaskan, peristiwa hukum yang pertama adalah tindakan administrasi.
Ketika Mardani yang dahulunya adalah bupati melakukan kesalahan dalam proses izin, maka itu merupakan kesalahan administratif.
"Jadi kalau kesalahan administratif maka menjadi tanggung jawab jabatan, dalam hal ini posisinya sebagai bupati kala itu," ujarnya.
Baca juga: 391 Aset Pemkab Diserahkan ke Pemkot Bima Sebagian Dikuasai Pribadi, KPK Diminta Turun Tangan
Kemudian, jika dari sisi pidana maka tanggung jawabnya adalah tanggung jawab personal bukan jabatan.
Namun untuk menemukan unsur pidana, harus ada kesalahan pidana yang dilakukan, seperti suap, gratifikasi atau pemalsuan surat.
"Pertanyaan, apakah dalam case ini ada suap atau gratifikasi terjadi. Apa ada pemalsuan surat? Kalau ada, unsur itu ranahnya pidana. Jadi ada tanggung jawab pidana (pribadi)," paparnya.
Namun, jika bawahan menerima suap maka tidak bisa dibebankan tanggung jawab kepada bupati atau Mardani.
"Penyertaan (deelneming) tidak bisa serta merta jika tidak ada hubungan kausalitas (sebab akibat)," ujarnya.
Prof Amiruddin juga menjelaskan, jika kasus tersebut digeret ke Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), maka harus jelas apa kesalahan yang dilakukan Mardani.
Dijelaskan juga, ada putusan MK mengenai TPPU.
Dalam UU TPPU disyaratkan tidak mesti terbukti terlebih dahulu predikat crime (tindak pidana asal).
MK mengatakan jika mengikuti pasal 69 TPPU tidak perlu predikat crime.
"Penuntut umum diwajibkan untuk mengajukan dakwaan bersama dakwaan pokok (subsideritas)," ujarnya.
Terakhir, Direktur Pojok NTB Fihiruddin mengatakan, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan banyak sekali kasus kriminalisasi terhadap masyarakat yang melibatkan pengusaha.
Ironisnya aksi premanisme tersebut tidak pernah tuntas diusut aparat penegak hukum di wilayah tersebut.
Contoh, seorang guru melakukan unjuk rasa terhadap kendaraan tambang yang melintas di dekat SD tempat dia mengajar.
Perjanjiannya, pihak pengelola tambang harus menyiram jalan yang dilalui terlebih dahulu agar debu tidak bertebaran.
Namun saat menghadapi demo guru, justru sekitar lima preman membawa senjata tajam membubarkan unjuk rasa.
"Sayang sekali ada seorang guru yang lari ke rumah temannya. Dia dibunuh di sana dengan 19 kali luka tusuk," katanya.
Lebih ironis lagi, preman yang melakukan pembunuhan hanya divonis empat bulan penjara.
Sisanya divonis tujuh hari dan dalang pembunuhan tidak pernah diusut.
Ada juga pemilik lahan yang lahannya dilalui kendaraan pengangkut material tambang.
Awalnya disepakati setiap bulan akan dibayar oleh seorang pengusaha berinisial HI.
Namun pada suatu hari, dia disuruh mengambil uang ke rumah HI.
"Sepulang ambil uang, dia dibunuh dengan tusukan," ujarnya.
Itu hanya beberapa kasus dari banyaknya kasus kriminalisasi di sana yang melibatkan pengusaha tambang.
Tapi otak dari pelaku tidak tersentuh.
Ini mengindikasikan aparat penegak hukum berpihak ke pengusaha.
"Hukum di negara kita saya meyakini sangat bisa dibeli oleh orang bermodal," kata Fihir.
Budi Wawan selaku penyelenggara diskusi berharap, melalui diskusi tersebut dapat melahirkan pandangan hukum yang objektif terhadap kasus yang menjerat Mardani H Maming.
(*)