Kiprah Jaksa Agung Burhanuddin Sikat Koruptor Kakap hingga Konsisten Terapkan Restorative Justice

Sejumlah kasus kakap diungkap, mulai dari kasus PT. Asuransi Jiwasraya, PT. ASABRI, PT. Garuda Indonesia, hingga kasus minyak goreng

Youtube Kejaksaan RI
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin mengumumkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Daglu Kemendag) Indrasari Wisnu Wardana dan tiga pejabat perusahaan eksportir minyak goreng sebagai tersangka dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan Turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022, di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Selasa (19/4/2022). 

TRIBUNLOMBOK.COM - Tren positif penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi oleh Kejaksaan RI menjadi sorotan.

Sejumlah kasus kakap diungkap, mulai dari kasus PT. Asuransi Jiwasraya, PT. ASABRI, PT. Garuda Indonesia, impor tekstil, impor besi atau baja, baja paduan dan produk turunannya, serta kasus kelangkaan minyak goreng yang menyentuh hajat hidup orang banyak.

Jaksa Agung RI ST Burhanudin menekankan kepada jajarannya tentang pemulihan keuangan negara dari penanganan sejumlah kasus tersebut.

Baca juga: Bakal Ada Tersangka Lain? Kejagung Periksa 88 Perusahaan Terkait Kasus Mafia Minyak Goreng

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI Ketut Sumedana meneruskan, kunci pemulihan kerugian keuangan negara itu terletak pada penelusuran aset.

"Sehingga pemulihan aset (recovery asset) menjadi lebih mudah, di mana hasilnya berupa triliunan aset dalam bentuk tanah, kapal, tambang, saham, uang dan emas dapat diselamatkan," urainya dalam keterangan tertulis, Minggu (22/5/2022).

Setelah setahun menjabat, kata Sumedana, Jaksa Agung RI Burhanudin membuat terobosan berangkat dari beberapa kasus yang seharusnya secara hukum tidak layak untuk dibawa sampai ke persidangan.

Seperti pencurian kayu bakar, pencurian sandal jepit dan perkara lainnya, bahkan ada perkara pelaku melakukan tindak pidana karena keadaan terdesak karena kondisi sosial ekonomi.

Misalnya, pelaku mencuri demi kebutuhan persalinan istri, pengobatan keluarga bahkan demi sang anak agar dapat mengikuti sekolah online di masa pandemi Covid-19.

"Hal ini menjadi tolak ukur asas “dominus litis” harus diterapkan berdasarkan pasal 139 dan 140 KUHAP sehingga dikeluarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif," urai Sumedana.

Dia menambahkan, dalam berbagai kesempatan, Jaksa Agung selalu menyampaikan bahwa keadilan itu tidak ada di buku, tapi ada di hati nurani para penegak hukum.

Penanganan perkara harus dilakukan dengan hati dan melihat fakta yang terjadi di masyarakat, serta hukum harus hadir di tengah-tengah masyarakat.

Gagasan-gagasan tersebut terakomodir dalam Pasal 30 C huruf c Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI yaitu “turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana yang melibatkan saksi dan korban serta proses rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya.

"Namun hal yang paling penting dalam penerapan keadilan restoratif yaitu korban mau memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana dan hak-hak korban yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku dapat dipulihkan kembali seperti sediakala," terang Sumedana.

Maka, hal itu ditindaklanjuti dengan membentuk Rumah Restoratif Justice (Rumah RJ) di setiap Kejaksaan yang diawali dari setiap Kejaksaan Negeri/Kabupaten minimal 1 Rumah RJ dan selanjutnya setiap kecamatan dan setiap desa.

"Adapun maksud dan tujuan Rumah RJ tersebut untuk menciptakan harmonisasi dan kedamaian di tengah masyarakat," jelasnya.

Rumah RJ tersebut tidak saja berfungsi untuk kepentingan penyelesaian perdamaian perkara pidana tetapi juga bisa untuk menyelesaikan perkara perdata, waris, perkawinan, bahkan digunakan sebagai tempat musyawarah untuk menyampaikan program masyarakat desa dan sosialisasi.

Jaksa Agung RI, kata Sumedana, menyadari peran jaksa di tengah masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghilangkan resistensi atau pembalasan di masyarakat dalam penanganan perkara.

"Sehingga kedepannya Pengadilan adalah benteng terakhir pencari keadilan ketika kesepakatan dan damai itu sudah tidak bisa lagi ditetapkan dalam setiap perkara, dan hal ini sesuai dengan prinsip Ultimum Remidium," paparnya.

Sumedana menjelaskan, restorative justice merupakan bagian dari instrumen mediasi penal yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.

Criminal Justice System, pada hakikatnya diatur secara ketat sebagai lex scripta namun bagaimana pelaksanaan restorative justice yang notabene merupakan perkara yang sudah masuk dalam proses criminal justice system (pro justucia)?

"Seharusnya beranjak bahwa asas legalitas hukum acara pidana hanyalah bisa disimpangi oleh hak oportunitas Jaksa Agung RI, artinya hanya Jaksa yang seharusnya dapat menutup atau mengeyampingkan perkara pidana melalui instrumen restorative justice," urainya.

Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin berbincang dengan kru redaksi Tribunnews di Kantor Kejagung, Jakarta, Senin (20/7/2020).
Jaksa Agung RI Sanitiar Burhanuddin berbincang dengan kru redaksi Tribunnews di Kantor Kejagung, Jakarta, Senin (20/7/2020). (Tribunnews/Dany Permana)

Proses panjang pelaksanaan restorative justice pada awalnya banyak pihak yang meragukan dimana bagaimana membangun pola pikir jaksa bahwa ini adalah produk unggulan yang berlandaskan dominus litis Penuntut Umum dan tidak dipermainkan oleh petugas Kejaksaan di lapangan yang justru dapat menciderai kepercayaan dan rasa keadilan masyarakat.

Tidak berhenti disitu, sambung Sumedana, Jaksa Agung RI Burhanudin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang ditujukan kepada Penuntut Umum sehingga memiliki acuan menangani kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.

Gagasan ini melahirkan ide pembentukan rumah rehabilitasi di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, mengingat kasus yang ditangani Kejaksaan, 80 persen adalah perkara narkotika dan 95 persen adalah mereka yang menjadi korban alias pengguna.

"Jaksa Agung RI sangat prihatin jika korban ini disamakan dengan pengedar atau penjahat, maka bukan kesembuhan yang didapat namun akan terjerumus atau bisa terafiliasi dengan pengedar," jelas Sumedana.

Oleh karenanya, imbuh dia, pengguna yang juga merupakan korban sangat penting untuk dilakukan arahan rehabilitasi fisik dan psikis (kesehatan) serta rehabilitasi sosial sehingga apabila sudah dinyatakan sembuh, tidak memiliki stigma negatif sebagai pecandu atau pelaku tindak pidana dengan harapan mereka bisa kembali ke masyarakat dengan baik.

Mengenai teknisnya, menurut Sumedana hal itu harus didukung oleh pemerintah daerah setempat mengenai operasional dan pembangunan rumah rehabilitas ini, dan karenanya seluruh pihak memiliki tanggung jawab untuk menyehatkan anak bangsa.

Pada Rabu 18 Mei 2022 dalam pertemuan “Promoting Restorative Justice: Strengthening The Rule of Law Through Restorative Justice Approach for Victim and Offenders”, antara jajaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum dengan UNODC (United Nation Office on Drugs and Crime) di Kejaksaan Agung, Country Manager and Liaison to ASEAN Collie F. Brown mengapresiasi penerapan restorative justice di Indonesia.

Baca juga: Menkopolhukam dan Mendagri akan Hadiri Pencanangan Gerbangdutas BNPP dan Kunjungi Pulau Miangas

Bahkan menyebut restorative justice di Kejaksaan RI merupakan salah satu yang terbaik di dunia dilihat dari kecepatan penanganannya, keleluasaan Penuntut Umum dalam kewenangan yang dimiliki, dan kontrol Kejaksaan Agung dalam pelaksanaan di setiap tingkatan serta lebih dari 1.000 perkara yang telah dihentikan dalam proses penuntutan.

Dalam kesempatan tersebut, Collie F Brown juga menyampaikan bahwa role model Restorative Justice oleh Kejaksaan RI dapat menjadi contoh penegakan hukum modern saat ini dan contoh bagi negara lain untuk menekan atau meminimalisir perkara masuk ke Pengadilan.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved