Cerita Sopir Truk Tronton di NTB, Jarang Lebaran di Rumah dan Hampir Menangis Kangen Cucu
Ketika teman-temannya bercita-cita menjadi pegawai negeri, banker, hingga tentara, Gatot justru lebih memilih mengejar keinginannya menjadi sopir
Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Robbyan Abel Ramdhon
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – Ketika teman-temannya bercita-cita menjadi pegawai negeri, banker, hingga tentara, Gatot justru lebih memilih mengejar keinginannya menjadi sopir.
Gatot telah menyukai ihwal permesinan sejak berusia SD, termasuk menjadi penonton setia ajang balapan MotoGP.
Sayang, mimpinya menonton event itu saat diselenggarakan di Sirkuit Mandalika pada Maret lalu, pupus karena harus mengejar waktu mengantar barang ke Bima.
Dalam sebulan, Gatot bisa membawa barang dengan truk tronton dari perusahaan tempatnya bekerja di Kalimantan menuju Bima maupun sebaliknya sebanyak tiga kali.
Baca juga: Polisi Intensifkan Razia Petasan di Lombok Tengah Jelang Lebaran
Selain Bima, ia juga mengantar barang ke daerah-daerah di Jakarta, Jawa hingga Sulawesi. Aktivitas ini telah dilakoninya sejak 1974, dan kini Gatot berumur enam puluh empat tahun.
Meski sudah menjalani profesi sebagai sopir pengangkut bahan makanan hampir lima puluh tahun lamanya, ia tak berpikir untuk segera pensiun.
“Pernah coba istirahat tiga bulan, malah sakit-sakitan di rumah. Tubuh sudah terbiasa bergerak,” tutur warga Banyuwangi, Jawa Timur itu, kepada Tribunlombok.com, pada Sabtu (30/4/2022).
Bukan tak mau pulang, ia malah merindukan keluarganya dan ingin sekali menikmati momen lebaran di rumah.
Baca juga: Kapolres Lombok Tengah Pantau Kesiapan Pos Pengamanan Lebaran di Jalur Transportasi Utama
Namun Gatot tahu, konskuensi dari pilihannya menjalani profesi sebagai sopir membawanya pada pelayaran-pelayaran jauh.
“Saya enggak tahu, berapa kali saya sudah tidak ikut lebaran di rumah,” ucapnya.
Saat ditemui Tribunlombok.com di Pelabuhan Lembar, Gatot sedang duduk di sebuah warung untuk beristirahat di sela-sela mengantre memasuki kapal.
“Saya sejak dua malam yang lalu di sini, sendiri. Saya enggak pernah pakai kernet,” ungkap Gatot.
Selama memasuki puncak arus mudik lebaran, pihak kapal dan pelabuhan memprioritaskan para pengendara yang mengangkut penumpang dan pemudik untuk lebih dulu menaiki kapal.
Kapal-kapal yang beroperasi di Lembar pun tak cukup sekaligus menampung kendaraan-kendaraan pengangkut barang. Akhirnya, supir-supir terpaksa berkompromi menjadi penumpang nomor dua.