Berita NTB
1.060 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di NTB, Aktivis Sebut UU TPKS adalah Harapan
UU TPKS hadir tidak hanya menjadi gertakan bagi pelaku maupun harapan perlindungan korban, tetapi juga sebagai pegangan keadilan penegak hukum
Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Wahyu Widiyantoro
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robbyan Abel Ramdhon
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) sudah disahkan menjadi Undang-undang (UU) dalam rapat paripurna DPR, Selasa (12/4/2022) lalu.
Aktivis Senyum Puan Eno Liska Walini berharap UU TPKS ini nantinya dapat membantu menurunkan angka pelecehan atau kekerasan seksual di NTB.
“Tidak hanya menekan angka, tapi juga dapat menuntaskan kasus-kasus pelecehan atau kekerasan seksual,” ucap mahasiswa Fakultas Hukum Unram ini, kepada Tribunlombok.com (13/4/2022).
Baca juga: Jenis dan Bentuk Perbuatan Pidana Kekerasan Seksual Menurut UU TPKS, Termasuk Catcalling
Baca juga: Dinas Kesehatan Lombok Timur Ungkap 3 Faktor Maraknya Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak
Ia menyinggung peran pihak kepolisian yang sebelumnya kerap menanggapi laporan kasus-kasus kekerasan seksual dengan menawarkan metode penyelesaikan restorative justice.
“Sebelumnya banyak kasus kekerasan seksual yang ujung-ujungnya diselesaikan secara kekeluargaan,” ungkap perempuan yang giat membantu advokasi kasus kekerasan seksual tersebut.
Menurutnya, UU TPKS hadir tidak hanya menjadi gertakan bagi pelaku maupun harapan perlindungan korban, tetapi juga sebagai pegangan keadilan para penegak hukum.
“Pemahaman dan kesadaran masyarakat dan penegak hukum jadi faktor yang sangat penting,” katanya.
Hal ini disinggungnya seiring banyaknya kasus pemerkosaan yang berujung pada korban dinikahkan dengan pelaku.
Per 2021, Badan Pusat Statistika sendiri telah mencatat ada 1.060 kasus kekerasa terhadap perempuan dan anak di NTB.
Angka terbesar jatuh di Kabupaten Lombok Timur dengan total kasus 390, disusul Kabupaten Lombok Utara 124 kasus, dan Kabupaten Sumbawa 79 kasus.
Menurut Eno, sapaan akrabnya, tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di NTB juga diakibatkan faktor ekonomi serta minimnya payung perlindungan hukum.
Selain rendahnya perlawanan terhadap pelaku.
Ia mengatakan, akses perempuan terhadap lapangan kerja selain di wilayah domestik masih begitu rendah sehingga membuat perempuan tidak dapat independen secara ekonomi.
“Akhirnya banyak perempuan, terutama di desa-desa, menganggap pernikahan adalah salah satu solusi mengentaskan kemiskinan. Walaupun tidak semua laki-laki juga dapat menjawab permasalahan itu,” tandasnya.
Ia berharap, dengan disahkannya UU TPKS, perempuan bisa mendapat perlindungan hukum sehingga tetap merasa aman dalam mobilitas sosial maupun ekonomi.
“Lingkungan kerja yang aman, dan kehidupan sosial yang adil adalah komitmen bersama masyarakat. UU TPKS hanyalah kemenangan kecil yang mengawali langkah kita untuk mewujudkan cita-cita itu di masa depan,” pungkasnya. (*)