Pengusaha Tahu di Kota Mataram Terkena Imbas Kenaikan Harga Kedelai, Omzet dan Produksi Menurun
Pengusaha tahu di Kota Mataram terkena imbas naiknya harga kacang kedelai.
Penulis: Patayatul Wahidah | Editor: Lalu Helmi
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Patayatul Wahidah
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Pengusaha tahu di Kota Mataram terkena imbas naiknya harga kacang kedelai.
Hal itu berdampak pada ongkos produksi mereka.
Mereka keluhkan omzet dan produksi tahu yang menurun.
Baca juga: Kenaikan Harga Kedelai Bikin Pusing Pedagang Tahu Tempe di Pasar Kebon Roek
Baca juga: Pedagang Tahu Tempe di Jawa Mogok Berjualan karena Harga Kedelai Selangit
Adi Purnomo, perajin tahu di Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram menyebutkan semenjak pandemi harga kedelai mengalami kenaikan mulai Januari hingga awal Februari.

Kacang kedelai mengalami kenaikan sebesar Rp 5 ratus hingga seribu rupiah. Dari awalnya Rp 7 ribu menjadi Rp 9 ribu hingga saat ini mencapai Rp 11 ribu per Kg.
Meskipun saat ini bahan baku naik, Adi masih menjual tahu dengan harga normal yakni Rp 75 ribu per papan.
Dirinya juga masih mempertahankan ukuran tahunya.
Kondisi tersebut yang membuat omset tahunya menurun, karena harga jual masih sama tetapi perajin mengeluarkan modal yang jauh lebih besar.
Namun Adi bersyukur tahu yang ia produksi merupakan tahu jawa di mana kompetitor untuk tahu jenis ini di Lombok masih sedikit sehingga ia masih bisa menaikkan harga tahunya jika harga kedelai terus melonjak.
Berbeda dengan nasib perajin tahu sasak dengan kompetitor yang relatif lebih banyak menjadikan mereka terpaksa menghentikan produksi saat harga kedelai naik.
“Karena ini tahu jawa maksudnya untuk produksi tahu jawa di Mataram ini hanya tiga atau empat begitu jadi masih bisa naikkan harga jadi Rp 80 ribu ya ndak banyak-banyak, kasian juga pedagang kalau naiknya banyak,” ujarnya.
Kenaikan harga kedelai ini juga berimbas pada produksi tahu yang mengalami penurunan.
Normalnya Adi bisa memproduksi tahu sebanyak 80 Kg per harinya tapi kini menurun drastis menjadi kurang dari 50 Kg.
Sebagai perajin tahu yang menggunakan kedelai impor, Adi menyayangkan kurangnya ketersediaan kedelai lokal.
Padahal menurutnya hasil olahan kedelai lokal menghasilkan tahu yang lebih bagus.
“Lebih bagus sebenarnya pakai kedelai lokal tapi stoknya memang ndak ada,” ujarnya.
Kini dirinya berharap harga kedelai impor yang biasa digunakan dapat normal kembali sehingga ia tidak perlu mengambil pilihan untuk menaikkan harga tahunya.
(*)