Nelayan Kecil di NTB Sulit Akses BBM Bersubsidi, Koalisi Dorong Pemerintah Dekatkan Pelayanan

Subsidi BBM jenis solar yang disalurkan pemerintah untuk Provinsi NTB tidak dinikmati sebagian nelayan.

Penulis: Sirtupillaili | Editor: Salma Fenty
TribunLombok.com/Sirtupillaili
NELAYAN: Salah seorang nelayan di Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur hendak menyandarkan perahunya usai pulang melaut, Minggu (9/1/2022). Nelayan-nelayan kecil ini kesulitan mengakses BBM bersubsidi.   

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Kurangnya sosialisasi dan sulitnya akses layanan membuat banyak nelayan di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) belum menikmati Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi dari pemerintah.

Banyak nelayan kecil tepaksa membeli BBM dengan harga normal di tingkat pengecer.

Direktur Forum Indonesia untuk Transparansi (Fitra) Provinsi NTB Ramli Ernanda mengungkapkan, hasil kajian bersama Koalisi Ketahanan Usaha Perikanan Nelayan, Desember 2021 menunjukkan, BBM merupakan komponen utama kegiatan penangkapan ikan nelayan kecil dengan armada di bawah 5 GT.

Armada dengan kapasitas di bawah 5 GT ini mendominasi kapal tangkap di wilayah NTB.

”Namun mereka dihadapkan dengan akses BBM subsidi yang terbatas,” ungkap Ramli, Selasa (11/1/2022).

Baca juga: Cuaca Buruk Awal Tahun, Ratusan Nelayan di Kota Mataram Jeda Melaut

Baca juga: NTB Punya Perahu Listik Electric Boat yang Diklaim 5 Kali Lebih Hemat dari BBM

Subsidi BBM jenis solar yang disalurkan pemerintah untuk Provinsi NTB tahun 2021 dengan nilai sekitar Rp 18,45 miliar tidak dinikmati sebagian besar nelayan.

Karena jenis BBM yang banyak digunakan nelayan adalah premium.

”Kouta BBM jenis premium untuk NTB tahun ini meningkat, namun nelayan masih tetap sulit mengakses,” ujarnya.

Akibatnya, banyak nelayan kecil di NTB terpaksa membeli di eceran seharga BBM non-subsidi.

Sehingga semakin membebani nelayan dan dapat berdampak serius pada tingkat kesejahteraannya serta menghambat pencapaian target pembangunan daerah maupun pemulihan ekonomi paska pandemi Covid-19.

Untuk itu, koalisi yang terdiri dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Seknas Fitra, Perkumpulan Inisiatif, Kota Kita, dan International Budget Partnership mendorong pemerintah daerah menguatkan komitmen melindungi dan memberdayakan nelayan kecil.

Hal itu bisa dilakukan melalui dua kebijakan, antara lain peningkatan akses dan partisipasi kelompok nelayan dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Baik melalui forum formal maupun forum alternatif di tingkat basis nelayan.  

”Peningkatan alokasi anggaran sektor kelautan dan perikanan, terutama untuk memfasilitasi pendataan nelayan,” katanya.

Tidak kalah pentingnya, mendekatkan layanan administrasi pencatatan kapal.

Membangun 3 SPBN untuk afirmasi dan mendekatkan titik akses BBM bagi nelayan kecil di tiga titik, yaitu di Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur dan 2 titik di Lombok Utara, yaitu Kecamatan Pemenang dan Kecamatan Kayangan.  

Jumlah Nelayan NTB Meningkat

Pemulihan sektor perikanan di masa pandemi Covid-19 menurutnya sangat penting.

Dia optimis, sektor kelautan dan perikanan mampu menjadi tulang punggung ekonomi Provinsi NTB dan menyediakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat pesisir, khususnya selama pandemi Covid-19.

Ramli membeberkan, berdasarkan data, jumlah nelayan di Provinsi NTB dalam kurun waktu 2019 hingga 2020 meningkat cukup signifikan.

Naik dari 64,223 jiwa pada tahun 2019 menjadi 75,495 jiwa pada tahun 2020.

Nelayan-nelayan ini terkonsentrasi di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Bima 24 persen, Lombok Timur 21 persen, dan Sumbawa 19 persen.

Peningkatan ini disebabkan peralihan pekerja di sektor non-primer yang terdampak selama pandemi Covid-19.

”Sekitar 93 persen nelayan NTB merupakan nelayan penuh, tanpa alternatif sumber penghasilan lainnya. Selebihnya merangkap sebagai pembudidaya udang, lobster dan ikan,” kata Ramli.

Pelaku usaha perikanan tangkap di NTB didominasi nelayan kecil dan tradisional, yang memiliki armada tangkap ukuran di bawah 5 GT sekitar 66 persen.

Perahu tanpa motor 5,7 persen dan nelayan tanpa perahu 3,2 persen yang memadati dan melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan 0-12 mil.

Wilayah penangkapan nelayan NTB sebagian besar di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) 573, atau perairan selatan Nusa Tenggara.

Kemudian WPP NRI 713 yang mencakup perairan Laut Flores dan Laut Bali.

”Dengan armada ukuran kecil, nelayan di NTB sebagian besar hanya mampu beroperasi di perairan pantai yang dipadati oleh nelayan kecil,” kataya.

Bahkan wilayah fishing ground nelayan tradisional semakin terbatas karena dimanfaatkan untuk budi daya oleh korporasi maupun kegiatan pariwisata.

”Sehingga stok dan hasil tangkapan ikan nelayan kecil tradisional semakin menyusut, dan meningkatkan risiko kerentanan terperangkap dalam jebakan kemiskinan,” bebernya.

BBM Subsidi Sulit

Untuk mempertahankan tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan kecil, pemerintah menyalurkan subsidi BBM jenis solar.

Sayangnya sebagian besar nelayan kecil tradisional di NTB tidak menikmati bagian kouta BBM bersubsidi jenis solar.

Total kouta BBM bersubsidi jenis solar untuk Provinsi NTB tahun 2021 sebanyak 307.264 kiloliter, meningkat dibanding tahun sebelumnya 178.859 kiloliter.

Nilai subsidi solar tersebut masing-masing bernilai  Rp 153,6 miliar (2021), dan Rp 178,86 miliar (2020).

Salah satu kelompok penerima manfaat subsidi adalah usaha perikanan skala kecil yang dialokasikan untuk usaha perikanan, secara nasional sekitar 12 persen dari total JBT jenis solar.

Survei yang dilaksanakan DPD KNTI Lombok Timurr dan DPD KNTI Lombok Utara pada April-Mei 2021 menemukan, sekitar 96,5 persen nelayan kecil tradisional di dua kabupaten tersebut menggunakan BBM jenis premium.

Meskipun kouta JBKP Premium untuk NTB bertambah menjadi 350.952 kiloliter tahun 2021 dibanding kouta tahun sebelumnya 337.015 kiloliter, namun akses nelayan kecil masih sangat terbatas.

”Kondisi ini memaksa hampir seluruh nelayan kecil membeli BBM jenis premium pada penjual eceran dengan harga yang sama dengan BBM nonsubsidi,” ujarnya.

Peningkatan harga BBM tersebut berdampak pada semakin meningkatnya beban operasional yang harus ditanggung nelayan kecil dan tradisional.

Karena sebagian besar atau 62 persen biaya operasional melaut dibelanjakan BBM dengan rata-rata konsumsi 2-10 liter per trip penangkapan ikan.

Temuan lainnya, sebagian besar nelayan tidak mengetahui mereka termasuk kelompok penerima subsidi BBM yang disalurkan pemerintah melalui PT Pertamina dan PT AKR Corporindo Tbk.

Persyaratan permohonan surat rekomendasi pembelian BBM bersubsidi yang dikeluarkan   Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat, seperti Kartu KUSUKA, Pas Kapal, Bukti Pencatatan Kapal Perikanan (BPKP) juga tidak dimiliki sebagian besar nelayan kecil dan tradisional.

”Karena masyarakat nelayan tidak mengetahui prosedur pengurusannya, di samping itu titik layanan jauh dari basis pemukiman nelayan,” katanya.

Menurutnya, kondisi ini berpengaruh pada kesejahteraan nelayan.

Secara umum, produksi perikanan di NTB mengalami penurunan tahun 2020, sehingga berdampak pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan pelaku usaha perikanan daerah.

”Situasinya dapat memburuk jika biaya operasional dan harga barang/jasa yang dikonsumsi nelayan tidak terkendali,” paparnya.

Capaian realisasi produksi perikanan tangkap pada tahun 2020 tidak mencapai target atau 97,6 persen, akibat pengurangan aktivitas melaut selama pandemi.

Situasi dan beban yang dihadapi nelayan kecil di NTB semakin berat selama pandemi Covid-19.

Karena itu, dukungan kebijakan dalam menekan harga BBM untuk nelayan kecil tradisional diyakini mampu berkontribusi pada pemulihan ekonomi daerah pasca pandemi Covid-19.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved