Perdagangan Orang di NTB
Tekong Kongkalikong dengan Oknum Petugas Camat hingga Dukcapil
Mereka diberangkatkan dengan dokumen palsu. Usia dan alamat diubah jaringan tekong dan agen. Mereka tidak dikirim ke negara tujuan yang dijanjikan
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
Seperti AB (41), tersangka kasus TPPO asal Desa Anjani, Kecamatan Suralaga, Kabupaten Lombok Timur. AB mengaku telah merekrut tiga orang dengan tujuan Dubai dan Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Kenyataanya korban dikirim ke Turki.
Untuk merekrut satu orang, dia mengaku mendapatkan uang Rp 14 juta.
Uang tersebut dipakai untuk biaya tiket, cek kesehatan, pembuatan paspor, dan uang saku calon pekerja yang direkrut.
Dia mendapatkan untung sedikit karena biaya pemberangkatan tidak mudah.
Misalnya, ongkos membuat paspor saja bisa mencapai Rp 2,6 juta. Kemudian calon pekerja diberikan uang saku Rp 2,5 juta.
Baca juga: Berangkat Pakai Identitas Palsu, Korban TPPO Dikirim ke Negara Konflik
Sementara dalam kasus UH, polisi menemukan Baiq Asmin memalsukan identitas korban yang masih anak-anak dengan menambah usianya.
Pelaku membuatkan korban KTP manual, bukan KTP elektronik.
Jalur pemberangkatan UH dan SH sama dengan Rinjani dan Husniyah.
Keduanya diberangkatkan dari Bandara Internasional Lombok menuju Batam, tahun 2015 silam.
Kemudian ditampung selama beberap hari di Batam.
Dari Batam, korban diberangkatkan menuju Malaysia dengan mengunakan kapal feri, lalu ditampung selama beberapa hari di Malaysia sebelum diberangkatkan ke Timur Tengah.
Kenyataannya, kedua korban tidak dipekerjakan di Abu Dhabi, tapi korban dikirim ke Damaskus, Suriah.
Selama berada di Suriah, janji gaji sebesar Rp 6 juta hanya tipu daya agen. Kedua korban hanya diberikan gaji Rp 2,3 juta per bulan.
Korban juga mendapatkan kekerasan fisik dan tidak dibebaskan untuk berkomunikasi dengan siapa pun termasuk keluarganya.
Kasus ini terungkap setelah belasan korban melaporkan apa yang mereka alami, termasuk UH dan SH.
SH, warga Lingsar, Lombok Barat enggan ditemui untuk mengungkap persoalan itu. Dia pun menghindar untuk diwawancara.
Seperti kebanyakan korban, mereka enggan membuka kembali kasus itu setelah pulang ke kampung halaman.
(*)