Perdagangan Orang di NTB
Sindikat TPPO Pandai Akali Aturan, Pencegahan Harus Berbasis Desa
Mereka bekerja sama dengan oknum petugas mulai dari tingkat desa, kecamatan, hingga dinas kabupaten/kota.
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
”KTP-nya benar semua, tetapi dia buat surat keterangan palsu,” ungkapnya.
Akhirnya, Disnakertrans NTB tidak memberikan mereka rekomendasi dan dilaporkan polisi.
Kasus itu menunjukkan, para sindikat punya seribu akal untuk bisa mengirim pekerja migran, meski tidak melalui prosedur yang benar.
Dampaknya, para pekerja yang mereka kirim rentan dieksploitasi dan disiksa di negara penempatan. Termasuk mereka yang menjadi korban TPPO.
Disnakertrans Provinsi NTB mencatat jumlah buruh migran bermsalah asal NTB mencapai 3.000 orang tahun 2019. Sedangkantahun 2020, jumlah pekerja bermasalah 2.000 orang.
”Tidak semuanya korban TPPO, tapi mereka ini ada yang disiksa dan dipenjara,” katanya.
Kebanyakan pekerja migran bermasalah karena tidak mendapat pelatihan sebelum berangkat.
Sehingga di negara penempatan mereka tidak bisa beradaptasi kemudian disiksa majikan.
Zuhriatun, aktivis pendamping buruh migran NTB menilai, pemerintah belum benar-benar serius memberantas mafia buruh migran.
Ia meminta pemerintah membersihkan dan menindak setiap pelaku tindak perdagangan orang.
Selain pendekatan hukum, pencegahan di tingkat desa sangat penting.
Setiap warga yang mau berangkat keluar negeri, harusnya diketahui pemerintah desa setempat. Sehingga orang yang keluar bisa terpantau.
”Pencegahan TPPO bisa berbasis desa,” tandasnya.
(*)