Siswa SMK Nikahi Dua Gadis Sekaligus, Kepala KUA Sekotong Sesalkan Tidak Lapor
Kepala KUA Sekotong Lombok Baat sesalkan siswa SMK nikahi 2 gadis tak lapor, padahal dekat Kantor KUA
Laporan wartawan Tribunlombok.com, Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT - Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Sekotong H Fathurahman menyesalkan pernikahan AR (18), siswa SMK di Lombok Barat yang menikahi dua gadis sekaligus.
"Kita sangat menyesalkan kejadian ini," kata Fathurahman, Senin (19/10/2020).
Pernikahan AR, pelajar SMK asal Desa Cendi Manik, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat viral di media sosial.
Pernikahan mereka dilangsungkan tanpa pencatatan resmi atau menikah di bawah tangan.
Baca juga: Siswa SMK di NTB Nikah 2 Kali dalam Sebulan, Istri Pertama Pasrah saat Madunya Datang:Saya Kira Tamu
AR menikahi F dan M dalam kurun waktu sebulan.
Namun resepsi pernikahan dilaksanakan sekaligus.
Dalam foto yang beredar, AR naik di pelaminan sekaligus bersama dua istrinya F dan M.
Fathurahman menjelaskan, KUA Sekotong tidak pernah diberi tahu warga setempat. Baik kepala dusun maupun kepala desa.
"Padahal lokasinya di dekat kantor KUA, sekitar 1 kilometer," katanya.
Ia pun baru tahu setelah berita pernikahan siswa tersebut viral di media.
"Saya juga baru tahu dari media setelah ramai," katanya.
Menurut Fathurahman, warga kemungkinan tidak datang melapor karena takut dilerai.
Sebab, dengan Undang-undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, dimana batas usia pernikahan minimal 19 tahun.
"Saya yakin warga sudah tahu isi undang-undang itu, makanya dia tidak datang melapor," katanya.
Warga setempat juga tidak datang konsultasi ke KUA. "Jelas tidak tercatat di KUA juga," katanya.
Warga, kata Fathurahman, takut jika melapor pernikahan itu tidak diizinkan.
Baca juga: NTB Disebut Supermarket Bencana, Ini Strategi Pemprov NTB Kurangi Risiko Bencana
Sebab baru bisa tercatat di KUA bila berusia 19 tahun.
"Kalau dilaporkan jelas kita akan menyampaikan apa yang menjadi syarat di undang-undang itu," katanya.
Memang dalam kasus pernikahan masyarakat Sasak, pihak keluarga biasanya merasa malu jika pernikahan digagalkan.
"Tapi kita harus pikirkan mudaratnya ke depan lebih besar," ujar pengasuh Ponpes Ahlussunnah Waljamaah NW Brumbaug ini.
(*)