Lombok Barat

Petilasan di Desa Kuripan Diyakini Sebagai Titik Nol Peradaban Suku Sasak

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PERADBAN SASAK - Satu diantara petilasan yang diyakini menjadi simbol awal berdirinya Suku Sasak di Lombok. Petilasan ini berada di atas Bukit Gunung Sasak yang berlokasi di Desa Kuripan Selatan Lombok Barat.

Petilasan Hingga Gentongan Perunggu Jadi Bukti Nol Peradaban Sasak di Desa Kuripan Selatan

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), merupakan salah satu pulau di Indonesia yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Sasak.

Suku Sasak dikenal dengan pakaian khasnya, hasil percampuran budaya Jawa dan Bali, yang menggunakan sapuk serta baju adat berwarna hitam dengan songket sebagai bawahan. Namun, literasi yang membahas asal-usul suku Sasak di NTB masih sangat terbatas.

TribunLombok.com mencoba menelusuri jejak asal-usul suku Sasak yang tersisa hingga kini di salah satu desa yang diklaim sebagai awal mula berdirinya suku Sasak di NTB, yaitu Desa Kuripan Selatan, Kecamatan Kuripan, Kabupaten Lombok Barat.

Desa yang terletak di kaki Gunung Sasak ini menyimpan berbagai cerita rakyat yang telah diturunkan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.

Masyarakat di sana meyakini bahwa peradaban suku Sasak dimulai dari Desa Kuripan Selatan. Hal ini ditandai dengan keberadaan tulisan aksara Sasak yang terawat di tujuh petilasan yang ada di desa tersebut.

Keberadaan tujuh petilasan itu diyakini sudah ada sejak abad ke-9, yaitu tahun 853 Saka. Petilasan-petilasan tersebut menjadi simbol kehidupan awal masyarakat Sasak di Pulau Lombok.

Pemangku adat sekaligus Kepala Desa Kuripan Selatan, Satriawan, menyebutkan bahwa bukti konkret lain yang menggambarkan kehidupan masyarakat Sasak adalah penamaan bukit yang menjulang tinggi dengan nama Gunung Sasak.

“Menurut cerita turun temurun kami di sini, nol peradaban Sasak itu ditandai dengan penamaan Gunung Sasak, di mana Kerajaan Sasak, Sasakdhana Prihhan Srih Jayannire pada abad ke-9 itu dengan Kerajaan Bali, Shri Kesari Warmadewa, pernah hidup berdampingan dan menjalin hubungan bilateral yang baik,” ucap Satria saat menceritakan awal mula penamaan Gunung Sasak kepada wartawan, Kamis (21/8/2025).

Menurut informasi yang ia sampaikan, Kerajaan Bali Shri Kesari Warmadewa pernah datang ke Lombok, yang diyakini singgah di Desa Kuripan Selatan dalam rangka membeli 40 ekor kerbau.

Setelah terjadi transaksi jual beli, Kerajaan Sasak, Sasakdhana Prihhan Srih Jayannire, memberikan sebuah hadiah berupa gentongan, yang menandakan pengakuan Bali terhadap keberadaan Kerajaan Sasakdhana Prihhan Srih Jayannire, yang disebut sebagai nenek moyang suku Sasak di Pulau Lombok.

Gentongan ini menyerupai kentungan tradisional yang dahulu digunakan di desa-desa. Biasanya dibunyikan ketika terjadi kejadian penting atau sebagai penanda agar warga berkumpul. Gentongan ini dibuat dari bahan perunggu.

Cerita ini, lanjut dia, tidak hanya sekadar bunga tidur yang diceritakan turun-temurun, melainkan dibuktikan dengan keberadaan petilasan di Gunung Sasak yang bertuliskan nama dua kerajaan yang disebutkan tadi, yaitu Kerajaan Bali Shri Kesari Warmadewa dan Kerajaan Sasak, Sasakdhana Prihhan Srih Jayannire.

Keberadaan gentongan yang juga merupakan hadiah dari Kerajaan Sasak sampai saat ini masih ada dan disimpan oleh tetua adat di Desa Pujungan, Kecamatan Papuan, Kabupaten Tabanan, Bali.

“Menurut cerita, dulu nenek moyang Sasak di Desa Kuripan Selatan itu menjalin transaksi jual beli 40 kerbau dengan Kerajaan Bali. Atas dasar terima kasihnya, Kerajaan Sasak kemudian memberikan hadiah kentungan yang sampai saat ini masih ada di Bali,” katanya.

Keberadaan petilasan ini juga dibenarkan oleh adanya ritual yang dilakukan masyarakat Bali di Desa Kuripan. Setiap akhir panen, ritual yang diberi nama ritual Aci-aci digelar oleh suku Bali.

“Kami di Desa Kuripan 100 persen beragama Islam, namun petilasan ini biasanya digunakan sebagai ritual juga oleh saudara kita yang Hindu, yang diberi nama sebagai ritual Aci-aci yang dilakukan setiap akhir panen,” ungkap Satria.

Dari informasi yang diterima, rupanya keberadaan petilasan ini sudah menjadi situs yang dikeramatkan oleh orang Bali, karena nol peradaban Sasak dahulu diyakini sebagai bagian dari bukti kehidupan harmonis yang terjalin antara Kerajaan Sasak dan Bali di desa tersebut.

“Bukan hanya satu kerajaan yang pernah menjalin hubungan baik di desa ini, namun salah satu kerajaan besar Bali, yakni Gel Gel Dalam Prabu, yang datang pada abad ke-14 dan mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong di Bali, juga pernah hidup berdampingan di desa kita ini,” sebutnya.

Ritual Aci-aci hingga saat ini masih dijalankan di Desa Kuripan Selatan. Ritual ini telah menjadi event yang digelar setiap musim panen berakhir.

Ketua Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI) NTB, Wiro Hamdani, membenarkan adanya ritual Aci-aci yang digelar masyarakat di Desa Kuripan Selatan, Lombok Barat.

Menurutnya, acara tersebut memang sudah menjadi tradisi tahunan masyarakat di Kuripan yang dikramatkan dan disakralkan karena sarat akan nilai budaya leluhur suku Sasak.

“Ritual Aci-aci bukan hanya sekadar tradisi, namun juga cerminan nilai-nilai luhur masyarakat Sasak dalam menjaga keseimbangan hidup dan spiritualitas,” ungkapnya.

Ia juga berharap keberadaan ritual ini dapat membuka tabir baki desa tersebut untuk berkembang dan mengoptimalkan potensi desanya, baik dari sisi wisata budaya maupun wisata alam dengan keberadaan Bukit Sasak.

“Ritual ini sekaligus membuka potensi desa sebagai destinasi wisata yang kaya akan nilai-nilai religi dan kearifan lokal,” pungkasnya.

Berita Terkini