TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTB, mengaku kesulitan untuk memulangkan lima orang yang menjadi korban dugaan tindak pidana perdagangan orang dengan negara tujuan Libya.
Lima korban TPPO itu yakni, Fitrianti, Amanda Putri, Atika Lestari, asal Desa Labuan Burung, Kecamatan Buer, sedangkan Icha yang masih di bawah umur asal Kecamatan Alas dan Nurjannah asal Pringgabaya Lombok Timur.
"Itu kesulitan kita karena PMI ini ilegal perginya, tapi kita tetap berusaha untuk memulangkan PMI yang dari Sumbawa dan Lombok Timur itu," ungkap Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) NTB Noerman Adhiguna, Selasa (12/8/2025).
Ia mengakui sudah melakukan laporan kronologi kejadian ke BP2MI pusat agar segera menghubungi kedutaan di Libya.
"Saat ini kita fokus penanganan itu dulu, agar cepat pulang PMI tersebut dan upaya yang kita lakukan saat ini melaporkan kronologi dan administrasi PMI tersebut ke Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) agar segera menghubungi kedutaan disana,"
Sebelumnya kasus dugaan TPPO ini pertama kali dilaporkan Anshary Ketua Perwakilan PDI Perjuangan di Kuwait.
Anshary mengatakan, saat ini dirinya tengah mengupayakan untuk membebaskan korban lima PMI tersebut. Ia mengungkap kronologi dugaan TPPO berdasarkan penuturan dari korban.
"PMI ini mengaku menjadi korban TPPO dan meminta tolong kepada saya mencari jalan dan menyampaikan kepada pemerintah," kata Anshary saat dihubungi pada Senin (11/8/2025).
Anshary menceritakan, kronologi awal Fitrianti diberangkatkan tanpa dokumen resmi dan mengalami eksploitasi selama bekerja di negara tujuan.
"Fitrianti ini mengaku pertama kali direkrut pada April 2025 oleh seorang pria di Alas Barat, Sumbawa," tutur Anshary.
PMI tersebut kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan di rumah salah satu perekrut seorang Haji sekaligus menjalani proses wawancara singkat. Beberapa hari kemudian, Fitrianti diberangkatkan ke Jakarta dari Sumbawa.
Dalam perjalanannya, PMI ini sempat dibawa ke rumah seorang perempuan di Utan, yang merupakan bagian dari jaringan perekrut. Pada malam harinya, PMI ini dinaikkan ke bus Safari Darma Raya menuju Jakarta.
Setibanya di Jakarta, para korban dijemput oleh seorang pria bernama Mas Aji dan dibawa ke Bogor, menuju sebuah tempat penampungan yang berkedok salon kecantikan.
"Nah di sana, para korban bersama beberapa calon pekerja migran lainnya menunggu proses pembuatan dokumen, termasuk paspor yang diurus di sebuah mall di Depok, Jawa Barat," terangnya.
Pada tanggal 10 Mei 2025, Fitrianti diberangkatkan ke bandara namun sempat disembunyikan terlebih dahulu di sebuah kost yang berada di Jakarta.
"Nah dari Jakarta, ia menjalani perjalanan udara melalui Singapura, Dubai, dan Istanbul (Turki)," terangnya.
Setiba di Turki, korban dijemput oleh seseorang yang hanya dikenal dengan panggilan "Baba", dan ditempatkan di kamar sempit yang dihuni bersama enam orang lainnya.
Tak lama berselang, Fitrianti dan seorang rekannya, Nurjanah asal Pringgabaya, diterbangkan ke Libya.
Setibanya di Libya, mereka sempat ditahan oleh polisi setempat sebelum akhirnya dijemput oleh seseorang dan diinapkan semalam di hotel.
"Dan keesokan harinya, keduanya diantar ke rumah majikan," tuturnya.
Baca juga: KP2MI Dorong Pembenahan Tata Kelola Penempatan PMI Asal NTB
Tanggal 13 Mei 2025, Fitrianti resmi mulai bekerja di rumah majikan yang mengaku telah “membeli” mereka seharga USD 5.800 tanpa melalui jalur resmi.
Hal ini menyebabkan korban diperlakukan dengan semena-mena, tidak diberi waktu istirahat yang cukup, serta makanan dan pakaian yang sangat minim.
Mendengar laporan ini, Anshary menyatakan keprihatinan mendalam dan mengecam keras praktik perdagangan manusia yang masih terjadi, terlebih melibatkan WNI di negara-negara konflik.
"Kami akan berkoordinasi dengan KBRI setempat dan pihak-pihak terkait untuk memastikan keselamatan korban dan mendorong proses pemulangan secepatnya. Perdagangan orang adalah kejahatan serius, dan semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab di hadapan hukum," pungkasnya Anshary.
Pihak PDI Perjuangan Kuwait juga tengah menyusun laporan resmi untuk diteruskan ke DPP PDI Perjuangan di Indonesia serta lembaga perlindungan pekerja migran agar kasus ini mendapat perhatian serius.
(*)