TRIBUNLOMBOK.COM - Seknas FITRA mendorong para pembantu Presiden Prabowo di bidang ekonomi memikirkan ulang pendekatan pembangunan yang digunakan dalam pengembangan wilayah pesisir.
Pemerintah diharapkan tidak hanya memacu perkembangan perekonomian pesisir tapi dengan mengabaikan aspek pelayanan sosial warga pesisir yang masih buruk.
Pemerintah diharapkan bisa mengembangkan kebijakan yang mengintegrasikan dua jenis pendekatan, atau sintesis antara pembangunan ekonomi dengan kebijakan sosial.
Wakil Sekretaris Jenderal FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran), Ervyn Young menyatakan pembangunan pesisir tidak harus ditempatkan dalam skema pembangunan ekonomi semata.
Namun dipandang akan jauh lebih menyentuh persoalan yang dihadapi keluarga nelayan jikalau diintegrasikan sekaligus dengan pendekatan kebijakan sosial. Demikian disampaikannya di Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Ervyn mengatakan di tengah gegap gempita rencana Program Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang akan membangun 100 Kampung Nelayan dengan anggaran Ro 2 triliun pada tahun 2025 ini, saat ini kondisi pemukiman wilayah pesisir justru masih memprihatinkan.
Ketersediaan air bersih dan sanitasi di pemukiman pesisir masih jauh dari layak, dan situasi tersebut sangat berpengaruh besar terhadap kehidupan keluarga nelayan, dimana perempuan dan anak-anak menjadi penanggung terberat akibat kondisi ini.
Tidak tersedianya akses air bersih di wilayah pesisir telah membebani pengeluaran keluarga nelayan, sementara kondisi sanitasi yang buruk memiliki prevalensi dengan beragam penyakit yang berkaitan dengan air (water-disease) seperti kanker serviks dan stunting.
Keluarga nelayan juga sangat rentan terhadap penyakit TB Paru, demam berdarah, malaria, diare dan penyakit kulit.
Kondisi ini lebih diperparah oleh dampak perubahan iklim yang mengancam kehidupan keluarga nelayan.
"Sangat diragukan kelancaran implementasi dan kemanfaatannya jikalau kampung nelayan di pesisir dibangun lengkap dengan fasilitas-fasilitas produksi sementara di rumah nelayan tidak tersedia air bersih, tidak ada tempat pembuangan limbah dapur dan KM/WC dengan standar aman. Padahal penyediaan air bersih, sanitasi dan hygiene sesuai UU adalah kewajiban yang harus disediakan pemenuhannya oleh pemerintah," kata Ervyn, yang juga adalah Core Team Koalisi Masyarakat untuk Air Bersih dan Sanitasi yang Berkeadilan & Inklusif (Just-In Wash Coalition-Indonesia).
Jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada tahun 2022 mencapai 17,74 juta jiwa (BPS, 2022).
Sebanyak 3,9 juta jiwa masuk dalam kategori miskin ekstrem. Jika jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2022 berjumlah 26 juta jiwa, maka kemiskinan di wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.
Sehingga diperkirakan lebih dari 8 juta perempuan dari 17,74 juta penduduk miskin yang berdomisili di kawasan pesisir Indonesia rentan menderita gangguan kesehatan disebabkan buruknya layanan air minum dan infrastruktur sanitasi di permukiman mereka.
Karena itu, para pembantu presiden di bidang perekonomian dan perencanaan pembangunan, yakni Kementerian Perekonomian dan Bappenas diharapkan bisa memandu beberapa kementerian yang terkait, dengan pembangunan di wilayah pesisir untuk menyusun strategi pembangunan yang lebih memadai.
Melibatkan Kementerian teknis seperti KKP, Kementerian PU, Kementerian Perkim, Kementerian Kesehatan, Kementerian PPA dsb untuk memperoleh input bagi pengembangan strategi pembangunan yang tidak semata memaksakan pendekatan pembangunan ekonomi, dengan kerangka berfikir bahwa persoalan kesejahteraan sosial diserahkan kepada keluarga nelayan sendiri yang diharapkan mengail manfaat dari pembangunan ekonomi, atau sekedar mengandalkan bantuan dari pihak lain untuk mengatasinya, khususnya dari bantuan lembaga asing (luar negeri).
"Untuk Menko Perekonomian dan Kepala Bappenas, kami berharap agar bisa dipandu strategi yang digunakan oleh Kementerian teknis seperti KKP. Jangan sampai muncul kesan bahwa tim kerja ekonomi ini terlalu memaksakan konsep untuk mendorong pembangunan ekonomi namun dengan mengabaikan pemenuhan layanan sosial dasar masyarakat. Penting bagi tim kerja ekonomi ini untuk menyerap masukan dari kementerian lain di bidang layanan sosial untuk mengembangkan kerangka pembangunan yang lebih terintegrasi dengan memperhatikan kebutuhan dan kondisi riil yang dihadapi oleh keluarga nelayan di wilayah pesisir. Saya setuju dengan semangat Bapak Presiden bahwa kita harus berdikari, berdiri di atas kaki sendiri untuk mengatasi masalah sosial yang menimpa masyarakat,. Bukan justru terkesan lepas tanggungjawab dan menunggu bantuan pihak lain" kata Ervyn.
Sementara itu, menanggapi rencana pembangunan Kampung Nelayan Merah Putih (KNMP) yang rencananya akan diakselerasi oleh Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP), Ervyn meragukan rencana program tersebut telah melalui managemen kebijakan publik yang layak.
Ia menyebut merasa aneh jika Kopdes MP yang sejauh ini baru akan dibentuk atau sedang dalam proses pengembangan kelembagaan tiba-tiba akan diserahi tugas untuk mengakselerasi pembangunan KNMP.
Dengan situasi tersebut, ia menduga Kopdes MP justru tidak akan memegang peran strategis dalam pelaksanaan program tersebut, namun justru akan lebih didominasi oleh aparat pemerintah pusat dan daerah.
"Akal sehat memberitahu kita bahwa jauh lebih bisa diterima jikalau Kopdesnya sebaiknya disiapkan terlebih dahulu, baru diberikan beban untuk mengaksekerasi program Kampung Nelayan. Jauh lebih realibel jika dibuat pilot dulu di beberapa titik dengan Kopdes yang siap, baru selanjutnya dilakukan perluasan," katanya.
Lebih jauh lagi, menurut Seknas FITRA, pemerintah diharapkan memiliki konsep yang jelas mengenai tujuan dan kerangka pembangunan Kampung Nelayan ini, termasuk mengenai posisi yang akan diperankan oleh Kopdes MP.
Menurut Ervyn, ukuran kesiapan Kopdes bukanlah dari segi kemampuannya mengakselerasi pembangunan kampung nelayan, melainkan agar pembangunan kampung nelayan tersebut justru memampukan koperasi untuk mendayagunakan fasilitas-fasilitas yang dibangun untuk meningkatkan ekosistem usaha perikanan dan budidaya di pesisir yang bersandar pada potensi sumber daya setempat.
Dengan demikian, anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan oleh pemerintah benar-benar bisa bermanfaat bagi kehidupan keluarga nelayan.
"Jadi konsepnya seharusnya bukan menjadikan Kopdes sebagai pelaksana pembangunan Kampung Nelayan, melainkan agar fasilitas-fasilitas yang dibangun dari Program Kampung Nelayan tersebut bisa ditransformasikan menjadi aset bagi keluarga nelayan melalui Kopdes untuk memajukan perekonomian di wilayah pesisir. Nah itulah yang mesti dipastikan oleh pemerintah. Kedua konsep tersebut sangat jauh berbeda, jadi mesti ada kejelasan dari pemerintah," tegasnya.
Tanpa kejelasan konsep mengenai peran Kopdes dalam pembangunan pesisir, Kopdes bisa terjebak hanya sebagai bemper bagi pelaksanaan program pemerintah bahkan bisa menjadi "kambing hitam" bila ada kegagalan implementasi program.
Namun yang lebih parah jika konsep yang dijalankan justru menjadikan Kampung Nelayan sebagai alat eksploitasi pihak lain yang memiliki peluang menjala manfaat dari peningkatan produksi di kampung-kampung nelayan yang dibangun, sementara keluarga nelayan hanya jadi penonton.
Pembangunan Kampung Nelayan semestinya ditujukan untuk memampukan keluarga nelayan.
"Kami berpandangan bahwa mesti dihindari jangan sampai Kampung Nelayan sekedar menjadi alat produksi untuk ekstraksi sumber daya pesisir, namun ekosistem usaha yang memampukan keluarga nelayan justru tidak tercipta. Agar memampukan keluarga nelayan, maka salah satu syaratnya, konsep pembangunan Kampung Nelayan itu harus memastikan partisipasi yang luas dari warga pesisir dan menjamin adanya kedaulatan keluarga nelayan dalam mengelola fasilitas-fasilitas yang dibangun untuk kesejahteraan warga pesisir," harapnya.
Ervyn juga mendorong pemerintah menjalin kemitraan dengan berbagai universitas dan kalangan praktisi yang selama ini telah berpengalaman di bidang perkoperasian untuk mendukung penguatan kelembagaan Kopdes MP dalam kerangka yang lebih sistemik.