Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, KOTA MATARAM - Pemerhati Anak Nusa Tenggara Barat (NTB), Nyayu Ernawati menyoroti pernikahan usia anak di Lombok Tengah yang melibatkan siswi SMP dan pelajar SMK putus sekolah.
Politisi PDI Perjuangan ini menyebutkan, pernikahan anak ini yang menjadi biang keladi munculnya sejumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Nyayu menegaskan, pernikahan anak akan berdampak panjang pada keberlangsungan kehidupan rumah tangga.
Ia mencontohkan kasus tragis di mana seorang anak yang menikah muda harus menjadi ibu dari dua anak, sementara sang suami terjerat kasus penyalahgunaan narkoba dan melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
“Pernikahan anak membawa dampak kepada anak-anak kita akhirnya mendapatkan perlakuan tidak layak. Mereka belum siap secara mental, finansial, dan sosial untuk kehidupan berumah tangga,” ucap Nyayu yang juga merupakan Sekertais Komisi IV DPRD Kota Mataram setelah dikonfirmasi, Kamis (29/5/2025).
Baca juga: Pembelaan Orang Tua Pelajar Pengantin Viral di Lombok Tengah, Pernah Berupaya Mengagalkan Pernikahan
Sudah ada regulasi seperti Undang-Undang Perlindungan Anak dan peraturan daerah (perda) yang melarang praktik pernikahan anak.
Namun, dia menilai implementasinya dinilai belum maksimal.
Ia menekankan pentingnya sosialisasi yang berkelanjutan dan pendekatan yang lebih dekat dengan anak-anak.
“Kita harus jadi ‘bestie’ untuk anak-anak kita. Jangan sampai mereka curhat di luar karena kurang perhatian dari orang tua,” kata Nyayu.
Nyayu merasa sosialisasi aturan perkawinan idealnya dimulai sejak kelas 6 SD.
Edukasinya bis berupa perubahan tubuh, batasan diri, dan perlindungan terhadap kekerasan seksual.
Baca juga: Kronologi Pernikahan Pelajar SMP-SMK di Lombok Tengah, Keduanya Sempat Kabur 2 Hari 2 Malam
Menurutnya, anggaran untuk kegiatan sosialisasi sudah tersedia di dinas terkait seperti DP3A (Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak).
Namun, ia merasa keterbatasan dana membuat kegiatan tersebut sering kali hanya digelar setelah muncul kasus.
Ia berharap program ini menjadi gerakan bersama lintas sektor, termasuk melalui sekolah dan komunitas lokal.
“Jangan sampai karena ketidaktahuan, masyarakat justru melanggar aturan. Kita semua punya tanggung jawab untuk melindungi anak-anak,” pungkasnya.
(*)