Oleh: Harianto
"Desa harus jadi kekuatan ekonomi
Agar warganya tak hijrah ke kota
Sepinya desa adalah modal utama
Untuk bekerja dan mengembangkan diri.
...
Desa adalah kenyataan
Kota adalah pertumbuhan
Desa dan kota tak terpisahkan
Tapi desa harus diutamakan"
Demikian penggalan lirik lagu Iwan Fals berjudul Desa. Melalui lirik lagu itu Iwan menyoroti 'concern' pembangunan sosial-ekonomi yang tidak meminggirkan desa sebagai entitas yang tak kalah pentingnya dengan kota.
Postur fiskal desa berubah sejak Dana Desa (DD) mengguyur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) mulai tahun 2015 silam. PP Nomor 11 Tahun 2021, yang melahirkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai entitas yang berbadan hukum. Keberadaan BUMDes nawaitu-nya adalah untuk menguatkan ekonomi warga desa melalui badan usaha yang dimiliki oleh pemerintah desa.
BUMDes juga diharapkan dapat menghasilkan keuntungan, dan sebagian keuntungannya masuk ke dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sebagai sumber Pendapatan Asli Desa (PADes).
Sebagai entitas yang telah terdaftar memiliki badan hukum, BUMDes selayaknya dikelola dengan transparan serta dengan manajemen yang profesional.
Namun nyatanya di lapangan, hasil riset yang dilakukan Lombok Research Center (LRC) di beberapa kecamatan dan desa di Kabupaten Lombok Timur pada April 2025 lalu, mengindikasikan BUMDes ibaratnya antara ada dan tiada bak hantu atau dalam bahasa Sasak disebut tuselaq.
Data dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), di Kabupaten Lombok Timur yang terdiri dari 21 kecamatan dan 239 desa mencatat jumlah BUMDes yang aktif hanya 71 unit dan terdapat 168 BUMDes yang kurang aktif.
Temuan LRC dari sisi yang lain bahwa BUMDes sebagian besar masih dikelola dengan manajemen tradisional dan sifatnya pekerjaannya sukarela yang dilandasi oleh semangat sosial dari para pengurusnya dan hanya didorong oleh keinginan untuk turut berkontribusi di dalam pembangunan desa.
Baca juga: Direktur BUMDes se-Lombok Tengah dan Kejari Praya Teken Kerja Sama Penanganan Masalah Hukum
Struktur kepengurusan BUMDes juga cenderung diisi oleh para tim sukses atau orang yang memiliki kedekatan hubungan emosional dengan kepala desa. Orang-orang di dalamnya dipilih bukan semata-semata berdasarkan kompetensi dan kapabilitasnya di dalam pengembangan bisnis UMKM desa.
Nah, melihat berbagai kompleksitas persoalan yang ada, sudah semestinya BUMDes menerapkan prinsip profesionalisme dan transparansi serta keterbukaan dalam pengelolaannya.
Hal tersebut mencakup transparansi keuangan, proses pengambilan keputusan, dan program BUMDes yang sudah, sedang dan akan dikerjakan. Warga desa sudah seharusnya mengetahui dan merasakan langsung manfaat dari dana desa yang disertakan anggarannya pada BUMDes itu dikelola untuk program dan kegiatan apa saja?
Jika kita meninjau ulang Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 termasuk Perubahan Kedua, yaitu UU Nomor 3 Tahun 2024 tentang desa sejatinya mengamanahkan pemerintah untuk berpihak pada pembangunan desa berbasis sumberdaya lokal.
Undang-Undang Desa ini dengan segala peraturan turunan lainnya mengatur tentang tata cara pelaksanaan otonomi desa, tata kelola pemerintahan desa, dan pembangunan desa.
Karena itu, sangat penting bagi pemerintah desa untuk membuka akses informasi agar partisipasi publik di dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program pembangunan dan pemberdayaan ekonomi desa bisa maksimal serta tepat sasaran sesuai dengan skala prioritas yang telah ditetapkan warga mulai dari Musdus, Musdes ataupun Musrenbangdes.