Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Ratusan nelayan asal Lombok Timur melakukan aksi demonstrasi di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Kamis (16/1/2025).
Para nelayan ini menolak pemasangan alat Vessel Monitoring System (VMS) pada kapal-kapal nelayan mereka.
Ketua Forum Nelayan Lombok (Fornel) Rusdi Ariobo saat ditemui mengatakan seluruh nelayan di Lombok Timur menolak pemasangan alat VMS pada kapal nelayan.
Dikatakannya, biaya pemasangan dan operasional VMS mahal, hal itu dinilai memberatkan nelayan kecil.
"Kami anggap teknologi ini lebih relevan untuk kapal besar, sedangkan kapal nelayan kecil tidak memiliki potensi pelanggaran yang signifikan," ucap Rusdi
Dikatakannya, penggunaan alat VMS sering mengalami gangguan teknis dan menghambat kegiatan operasional nelayan.
Dia pun meminta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan berukuran lebih dari 30 GT yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) untuk dicabut.
"Kami minta dicabut kewajiban pemasangan VMS untuk kapal kecil. Ganti dengan metode pengawasan berbasis komunitas nelayan atau teknologi sederhana yang lebih murah," tegas Rusdi.
Setiawan, nelayan Labuan Lombok Timur mengatakan, selain menolak pemasangan alat VMS, nelayan juga menolak pembatasan kuota penangkapan ikan.
Pembatasan penangkapan ikan ini akan membatasi penghasilan nelayan yang bergantung pada hasil tangkapan harian.
"Kebijakan ini lebih menguntungkan perusahaan besar dan merugikan nelayan kecil. Usul kami cabut kebijakan kuota penangkapan ikan untuk kapal kecil," tegas Setiawan.
Baca juga: Sempat Dikabarkan Hilang saat Memindah Kapal, Nelayan Asal Panda Bima Ditemukan Tewas
Setiawan juga meminta agar zona penangkapan ikan lebih dari satu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) dicabut. Menurut dia, zona penangkapan ikan yang terbatas pada satu WPP sangat merugikan nelayan.
"Kami meminta izin untuk menangkap ikan di lebih dari satu WPP karena nelayan sering mengikuti migrasi ikan yang tidak terbatas pada satu WPP," katanya.
Selain itu, para nelayan juga menolak pendapatan negara bukan pajak (PNBP) sebesar 5 pesen yang diberlakukan pemerintah.
"Kami minta diturunkan menjadi 2,5 persen," katanya.
Setiawan menilai besaran PNBP yang diberlakukan itu mencekik pendapatan nelayan. Karana, harga acuan ikan Tuna diturunkan dari Rp 14.000 menjadi Rp 10.000. Ikan Albacore diturunkan dari Rp 14.000 menjadi Rp 5.000 dan ikan Cakalang diturunkan dari Rp 9.000 menjadi Rp 5.000.
"Harga acuan ikan ini terlalu tinggi tidak sesuai dengan harga pasar sehingga harga tangkapan nelayan dinilai rendah," ujarnya.
Setiawan menegaskan pemerintah juga perlu memberikan izin pengangkutan ikan dari pulau-pulau kecil. Karena banyak hasil tangkapan di pulau-pulau kecil tidak dapat dijual karena larangan pengangkutan.
"Larangan ini merugikan nelayan yang menggantungkan hidup pada daerah tangkapan di pulau-pulau kecil. Kami minta aturan yang melarang pengangkutan ikan dari pulau-pulau kecil ini segera direvisi," tegas Setiawan.
Sekretaris Dewan DPRD NTB Surya Bahari mengatakan, semua tuntunan para nelayan akan segera ditinjau. Para nelayan siap diterima kembali pada Selasa (21/1/2025).
Menurut Surya semua tuntutan para nelayan akan diserahkan ke Komisi II DPRD NTB untuk dipelajari. Sehingga semua tuntunan para nelayan segera disikapi oleh para wakil rakyat.
"Ya mana yang disikapi yang ditanggapi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jadi, lami akan siapkan tempat hari Selasa diterima langsung komisi II DPRD NTB," pungkasnya.
(*)