Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robby Firmansyah
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Kasus tambang emas ilegal di kawasan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat yang diduga dikelola warga negara asing (WNA) China, menjadi prioritas Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat (Kejati NTB) untuk diselesaikan pada tahun 2025.
Kepala Kejati NTB Enen Saribanon menjelaskan alasan pihaknya memprioritaskan pengusutan kasus tersebut pada tahun depan.
Tahun 2024 ini sudah banyak kasus lain yang juga ditangani, seperti 49 kasus tindak pidana korupsi yang masih dalam tahap penyelidikan, dan 29 kasus sudah naik penyidikan.
"Banyak perkara yang kami tangani di sini, tetapi kami memilah mana yang lebih gampang terus perioritas kami selesaikan di tahun 2024, tahun 2025 tinggal beberapa hari lagi Sekotong menjadi perioritas kami di tahun 2025," kata Enen belum lama ini.
Mantan Wakajati NTB itu juga mengatakan sudah melakukan koordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bahkan beberapa temuan lembaga anti rasuah itu sudah dipelajari Kejati NTB.
"Kami sedang mengumpulkan alat bukti dukung," tegas Enen.
Enen mengatakan, alat bukti dukung seperti keterangan sejumlah pihak maupun alat bukti lainnya akan ditelaah, kemudian dilakukan ekspos untuk menentukan arah penanganan selanjutnya.
Sebelumnya KPK melakukan penyegelan terhadap tambang emas yang berada di Dusun Lendek Bare, tambang ilegal yang disegel KPK itu berada dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang diduga sudah beroperasi sejak tahun 2021.
Dimana setiap bulannya tambang tersebut mendapatkan omzet Rp 90 miliar atau dalam setahun sebesar Rp 1,08 triliun.
Angka tersebut berasal dari tiga tempat penyimpanan (stockpile) di satu titik tambang emas di wilayah Sekotong seluas lapangan sepak bola.
"Ini baru satu lokasi dan tiga stockpile, mungkin di sebelahnya ada lagi, belum di Lantung yang di Dompu, Sumbawa Barat, berapa perbulannya? bisa jadi triliunan kerugian negara," kata Dian, Jumat (4/10/2024).
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) tercatat ada 26 titik tambang ilegal di kawasan Sekotong yang berada diatas lahan seluas 98,16 hektare.
Dian juga mengungkapkan adanya dugaan modus konspirasi antara pemilik izin usaha pertambangan (IUP) dan operator tambang ilegal, meski lahan tersebut memiliki izin pertambangan resmi dari PT Indotan Lombok Barat Bangkit (ILBB).
Bahkan papan tanda IUP ILBB baru dipasang pada Agustus lalu setelah beberapa tahun beroperasi.