Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Peraturan Daerah harus harmonis dengan peraturan perundang-undangan diatasnya maupun yang sejajar dan dalam teknik penulisannya harus sesuai dengan Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hal itu disampaikan Ketua DPRD Lombok Timur, Murnan saat di temui di ruangannya oleh TribunLombok.com, Selasa (7/6/2022).
"Keharmonisan dalam pemeruntahan itu harusnya tercipta dari bagaimana seriusnya Pemkab dalam membuat suatu regulasi, untuk menjamin kepekaan, dan keberlangsungan hukum di masyarakat," katanya.
Baca juga: Menkes: Indonesia Sumbang 50 Juta USD Untuk Dana Kesehatan Global
Baca juga: Peringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, EcoRanger Academy Usung Wisata Hijau di Lombok Tengah
Namun menurut Murnan upaya itu saat ini kurang di perhatikan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Timur.
"Ya bolehlah saya berstatmen dengan asumsi saya. Dimana sebetulnya pemerintah daerah ini tidak terlalu bergairah membahas regulasi," sebutnya.
Lebih lanjut ia mengira, Ini terlepas apakah memang faktor anggaran, atau mungkin pemkab kurang ide, atau mungkin itu bukan merupakan prioritasnya.
Padahal Raperda itu adalah sifatnya multi pihak. Dimana pemerintah merupakan payung hukukm yang membuat kebijakan, dan masyarakat merupakan pelaku utamanya.
"Sesungguhnya sumbunya aturan itu adalah menjamin hak hak masyarakat. Dimana mentang-mentang pemerintah punya hak, masyarakat terabaikan," ucapnya.
"Menurut saya pribadi di Lombok Timur pembahasan mengenai Raperda ini rendah," sambungnya.
Oleh karenanya lah lanjutnya, dua produk hukum yakni Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan (Ripparda) sampai hari ini belum selesai, ada juga penyelenggara kepariwisataan sempat menjadi isu yang hangat, itu masih miss presepsi.
Adanya masalah tersebut lantas tidak kemudian membuat Pemkab sigap mencari solusi yang kira kira bagaimana menggabungkan presepsi ini.
"Saya terusterang sayangkan, karena sempat diskusi, seolah-olah ketika ada perbedaan sedikit, ndak ada kesadaran yang ketemu. Padahal itu kan bagian daripada potensi, justru kita ingin menggabungkan talenta semua pihak, terutama pemikiran pemikiran baru. Yang coba menciptakan aturan yang mengarah kepada keinginan semua pihak," paparnya.
Ia juga menganggap Pemkab dalam pembahasan Raperda kurang semangat, dan tidak bergairah dalam menemukan solusi yang ada.
"Ketika sudah ketemu 2 sampai 3 kali, dianggap ini sulit, berbenturan dan akhirnya putus, tidak lanjut," imbuhnya.
Akan tetapi menurutnya di sisi lain memang secara yuridis, kepastian hukum secara Nasional kayaknya menjadikan daerah menjadi ragu ragu membuat payung hukum.
Apalagi adanya UU cipta kerja yang sudah dianggap ilegal, sampai kemudian ada perubahan, karena banyak payung hukum atau aturan aturan di daerah itu, sudah ada di UU omnibus law, termasuk didalamnya masalah tata ruang.
Kenapa mentok pada pengelolaan tata ruang Ripparda, karena tata ruang wilayah saja belum di ketemukan di Lombok Timur, contohnya saja di Sembalun yang nanti mana kawasan strategis nasional, dan kawasan strategis daerah, itu yang belum selesai sampai hari ini," jelasnya.
Menurutnya hal inilah yang mengakibatkan adanya kebimbangan di daerah untuk membuat sebuah rencana.
"Karna juga diskusinya kan juga mentok, mau diskusi ok, tiba tiba disini ada bantahan secara yuridis, ini tidak sama, atau tidak mengacu pada peraturan per UU cipta kerja itu sendiri," katanya.
"Jadi saya bilang banyak faktor itu, tapi padahal kita butuh," sambungnya.
Terlepas dari itu, tidak pernah daerah menggelar diskusi mengenai Raperda secara intens, padahal itu merupakan pemecahan masalah yang ada di Lombok Timur.
"Saya menilai pemerintah daerah membuat regulasi saja lemah apalagi eksekusi. Oleh sebabnya juga ketika ada peraturan baru tidak ada upaya untuk sosialisasi," ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengakui konflik lahan memang sering menjadi masalah.
Sebagian besar konglik ini lahir dari adanya UU No.23 Tahun 2014 terkait tentang pembagian kewenangan, di pangkas lagi kewenangan di UU cipta kerja.
"Kenapa dia berkaitan dengan tata ruang, karna misalnya ijin, contoh yang sering dipermasalahkan ritail moderen. Perijinan ketika tidak diijinkan kabupaten mereka lari ke provinsi, pemerintah daerah kemudian tidak ada hak untuk melarang. Karna memang itu bagian dari keputusan di pusat seperti itu," terangnya.
Oleh karenanyalah pemerintah seperti simala kama, dimana kalau nggak diurus pemkab nggak dapat apa apa, di urus jadi permasalahan di masyarakat.
"Yang menjadi garis tebalnya ini adalah dimana adanya uud cipta kerja ini seolah mengabaikan semua hal," pungkasnya.
(*)