Opini

Putin di Antara Tragedi dan Puisi

Editor: Lalu Helmi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ahmad Sirulhaq (Dosen Analisis Wacana FKIP Universitas Mataram)

Oleh: Ahmad Sirulhaq (Dosen Analisis Wacana FKIP Universitas Mataram) 

Tak ada yang puitis dalam perang.  Seorang tentara  muda Rusia mengirim pesan pilu kepada ibunya, hari-harinya di Kyiv sangat berat. Sehari kemudian, di medan perang itu, ia terbang bersama malaikat maut dalam mengemban misi pemimpinnya, selamanya. Lebih dari 300 warga sipil mati sia-sia, satu jutaan pengungsi mencari jalan keluar menerobos keluar Ukraina, cari perlindungan. Tidak semua setuju, namun, atas peristiwa ini, mata orang-orang langsung tertuju pada monster yang dipandang paling berbahaya di dunia hari ini: Vladimir Putin.

Ya, Putinlah tersangka kita, dan tak ada yang indah dalam perang. Namun, bagaimana seorang yang lahir dari orang tua yang hampir mati dalam keping-keping perang dunia kedua itu bisa berubah dari kehidupan masa kecil yang suram menjadi seekor srigala yang liar? Banyak petunjuk yang bisa kita baca.

Baca juga: Rusia Lawan Sanksi FIFA dan UEFA, Ajukan Banding ke CAS

Baca juga: Rusia Bisa Saja Hentikan Serangan ke Ukraina Dalam Sekejap, Tapi Ada 4 Syaratnya

Putin muda masih menjadi agen intelijen yang ditugaskan di Jerman ketika kedua blok besar di dunia masih sama-sama pamer kekuatan. Jerman kala itu pun terbelah dua, bagian timur dikendalikan Uni Soviet, bagian barat dipegang Amerika dan sekutu. Pada 1989, di tempat itu juga, Putin menyaksikan runtuhnya tembok Berlin, tembok yang telah lama membelah dua ideologi dunia yang saling berhadap-hadapan sepanjang perang dingin, Blok Timur dan Blok Barat, blok komunis dan blok kapitalis. Berdiri di barisan timur ialah Uni Soviet dan kawan-kawan dalam benteng pertahanan Pakta Warsawa; berdiri  di barisan barat ialah Amerika dan saudara dekatnya, NATO.

Dunia tentu menyambut riang berakhirnya perang dingin. Hal itu berarti negara-negara yang tidak ikut perangpun tidak lagi akan terus dirundung kecemasan. Bagaimana Anda akan bisa tidur ketika Anda dikelilingi oleh moncong nuklir yang terus terjaga siang dan malam? Krisis nuklir Kuba tahun 60-an adalah pelajaran berharga dan klimaks dari semuanya. Beruntung, kiamat pertama berhasil ditunda berkat perjanjian rahasia antara Kennedy dan Khruschev  untuk memindahkan nuklir mereka

Pengunduran jadwal kiamat untuk waktu yang belum ditentukan kembali dilakukan ketika kedua blok besar itu sama-sama sepakat untuk tidak lagi bermusuhan. Pada 8 Desember 1987, Gorbachev dan Reagen sepakat menandatangani traktat untuk mengurangi pengembangan senjata nuklir. Seiring itu, dua tahun kemudian, di Jerman, Tembok Berlin runtuh. Antiklimaks terjadi pada 1991, ketika Gorbachev mengundurkan diri. Perang dingin pun berakhir, Uni Soviet bubar, Amerika Serikat tidak. Pakta Warsawa berakhir bersamaan dengan berakhirnya Uni Soviet, tapi NATO? Oh tidak.

Mungkin, bagi Rusia muda pasca Uni Soviet, buat apa bertahan jika musuh sudah tidak ada, kita kan sudah berkawan. Gorbachev, pemimpin kala itu, tidak hanya bermurah hati dalam hal membiarkan negaranya bubar demi perpanjangan waktu menuju akhir zaman, ia juga menyepakati agar Jerman (Timur), yang telah menyerang Soviet bertubi-tubi, yang menjadi kekuasaan Soviet setelah perang dunia kedua, bersatu kembali dengan Jerman Barat dan masuk ke  dalam NATO, meninggalkan Pakta Warsawa. Sebagai imbalan atas kemurahan hati Gorbachev, Amerika dan NATO memberikan janji kepada Rusia, NATO tidak akan bergeser satu inci pun ke arah timur.

Baca juga: Tak Mudah Kuasai Ukraina, Ribuan Tentara hingga Pesawat Tempur Rusia Malah Dilumpuhkan

Baca juga: Negosiasi Ketiga Antara Ukraina dan Rusia Kembali Gagal, Tak Ada Jalan Bagi Diplomasi?

Tenanglah hati Rusia jika NATO tidak akan bergeser ke timur, walaupun itu sudah ditukar dengan berakhirnya kejayaan Uni Soviet. Namun, janji boleh saja diucapkan, ditepati atau tidak itu soal lain. Apalagi, setelah perang dingin, Amerika dan NATO berada di atas angin. Jika Anda terlalu naïf berani berjanji dengan Amerika, maka itu adalah problem Anda, demikian Chomsky menyindir Amerika dan NATO. Benar saja, ketika superioritas dunia kehilangan keseimbangan dan bertumpu pada blok Barat karena tak ada lagi lawan yang sepadan, belakangan, NATO memang tidak bergeser satu inci, melainkan bergeser ratusan kilometer ke arah timur. Lama kelamaan, NATO mulai mendekati wilayah perbatasan Rusia. Siapa berani lawan?

Atas provokasi Amerika, beberapa negara termasuk negara bekas Uni Soviet mulai eksodus ke barisan negara-negara pertahanan Atlantik Utara. Pada saat yang sama, Rusia hanya bisa meratap: ia dikhianati oleh Amerika dan sekutunya sebegitu cepat dan di depan mata. Pada gelombang pertama pasca perang dingin, tiga negara masuk sekaligus ke dalam NATO pada 1990: Republik Ceko, Hungaria, dan Polandia.

Apa daya, Rusia muda, di bawah kepemimpinan Boris Yeltsin, Pemimpin Rusia pasca Uni Soviet, hanya bisa menatap pedih melihat bagaimana negara-negara itu bergabung ke Blok Barat. Rusia muda masih belum punya bulu untuk terbang. Ia baru saja terbangun dari sisa-sisa reruntuhan Uni Soviet. Perekonomian mereka masih masih jauh. Ya, terimalah sudah, toh, dari garis perbatasan Rusia,  NATO juga masih jauh.

Gelombang kedua, pada 2004, beberapa anggota bekas Uni Soviet mulai bergabung ke dalam NATO. Begitu seterusnya sampai pada 2020.  Tak puas sampai di setu, Amerika menyebut-nyebut, bahwa Ukraina dan Donbass akan bergabung dengan NATO. Nah, sampai di sini kesabaran Putin habislah sudah.  Banyak pakar menyebut, Putinlah yang mulai menyulut api. Namun, bagi John Mearsheimer, Pakar hubungan internasional dan dosen ilmu politik Universitas Chicago, krisis Ukraina adalah kesalahan Barat.

Rusia di bawah Putin seakan memberikan isyarat, Anda boleh mengambil semua, namun jangan Ukraina. Biarkan Ukraina menjadi negara netral. Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia. Jika itu terjadi maka, secara geopolitis, Rusia akan benar-benar  terancam. Tak butuh waktu lama untuk mencapai Moskow jika rudal NATO dibiarkan bersarang di Ukraina. Bagaimana perasaan Anda kalau Rusia kembali meletakkan rudal nuklir di Kuba, atau jika nuklir China diletakkan di Meksiko? Anda tidak bisa beretorika bahwa itu adalah hak masing-masing negara.

Amerika dan NATO tidak ambil pusing. Barangkali, mereka hanya berjanji pada Uni Soviet tapi tidak pada Rusia. Pada saat yang sama mereka lupa, yang bercokol di Kremlin hari ini bukan lagi Yeltsin, tapi Putin. Di bawah Yeltsin, Amerika dan NATO boleh gegabah, tapi di bawah Putin, Anda bisa saja akan dibuat menyerah. Tak seperti presiden sebelumnya, Putin tidak ingin Amerika dan sekutu abadinya terus menebarkan pesona di dekat negara-negara yang berbatasan dengan Rusia. Putin tak akan bisa terima, ancamannya tidak main-main. Perlawanan mulai dilakukan sejak lama, pada 2014  Putin merebut Crimea dari Ukraine. Bukan hanya itu, ia menyokong beberapa gerakan separatis di Ukraina.

Kalau Amerika dan sekutunya boleh menginvasi negara lain dengan dalih palsu, mengapa Rusia tidak boleh melakukan hal yang sama dengan dalih nostalgia masa lalu? Mungkin demikian pikir Putin. Lagipula, bukankah sebagian warga Ukraina adalah saudara lama yang berbahasa Rusia? Bukankah Vladimir dan Volodymyr satu nenek moyang? Kalau Amerika dan sekutunya boleh mengacak-acak Timur Tengah, maka jangan salahkan Rusia mengacak-acak Eropa Timur, kurang lebih begitu.

Pada Pemilu Ukraina 2019, Putin berusaha mematahkan jalan Ukraina menuju Pertahanan Atlantik Utara dengan mendukung kandidat yang dipandang pro-Rusia, Yuriy Boyko. Namun, peluangnya sangat tipis. Kita tahu kemudian, Volodymyr Zelensky memenangkan hati Ukraina. Seperti presiden sebelumnya, Volodymyr Zelensky menunjukkan gelagat pro-Barat dengan menyatakan hendak bergabung dengan NATO.

Halaman
12

Berita Terkini