Pukulan Mematikan bagi Yokoi
Ternyata rekan-rekannya sudah mati. Momen itu merupakan pukulan pahit bagi Yokoi. “Sepanjang hidupnya dia sangat kesepian, tetapi menjadi jelas dua orang yang tinggal di sebuah lubang di tanah di Guam ini telah menjadi keluarganya. Dia hancur secara emosional,” kata Hatashin.
Namun entah bagaimana Yokoi meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia memiliki kewajiban untuk melaporkan kematian kedua orang itu kembali ke Jepang.
Dia pikir seseorang harus memberi tahu pemerintah tentang tragedi ini. Dengan cara itu, dia meyakinkan dirinya untuk bertahan hidup.
Misi Yokoi adalah keselamatannya. Itu membawanya melalui delapan tahun terakhir pengasingannya. Dia kemudian mengakui kepada keponakannya, satu-satunya tujuan dia bertahan karena ingin melaporkan kematian dua rekannya kepada atasan militernya.
Dia menepati janji itu pada dirinya sendiri sekembalinya ke Jepang, berjalan ke rumah kedua tentara untuk memastikan bahwa orang-orang itu telah meninggal.
Meskipun rasa tanggung jawab Yokoi, baik sebagai seorang prajurit maupun sebagai seorang pria, tidak pernah meninggalkannya, bangsa yang dia layani gagal untuk menghargai pengorbanannya.
Prof Hitashin mengatakan pamannya secara resmi telah dinyatakan meninggal pada 1947 dan, sebagai akibatnya, gaji dan pensiunnya telah berhenti pada saat itu.
Tanpa sepengetahuannya, di hutan Guam, Sersan. Yokoi melawan musuh Jepang atas nama tanah airnya sepenuhnya sendirian.
Kode etik militer Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan demi kehormatan, menuntut kematian sebelum menyerah.
Banyak orang akhirnya salah duga alasan Sersan Yokoi untuk mempertahankan pendiriannya hingga 28 tahun sesudah perang usai.(Tribunlombok.com/RussiaToday/xna)