Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Koalisi Masyarakat Sipil NTB menentang rencana Polresta Mataram menghentian kasus dugaan pencabulan anak kandung oleh AA (65), mantan anggota DPRD NTB.
Koalisi ini terdiri dari Relawan Sahabat Anak, LPA Kota Mataram, PBH Mangandar, BKBH Fakultas Hukum Universitas Mataram, dan Solidaritas Perempuan Mataram.
Mereka menentang kasus tersebut diselesaikan melalui ‘restorative justice’ atau keadilan restoratif.
”Koalisi secara tegas menentang rencana penerapan keadilan restoratif dan mendesak penangguhan penahanan tersangka AA dicabut,” tegas Syamsul Hidayat, juru bicara koalisi dalam keterangan persnya, Sanin (15/3/2021).
Kolisi, kata Syamsul, mendesak penanganan kasus tersebut hingga tuntas.
Ada beberapa alasan kasus tersebut tidak pantas menggunakan restorative justice.
Antara lain, tersangka AA (65), seorang politisi Partai Amanat Nasional (PAN) diduga telah melakukan pencabulan terhadap anak kandungnya WM (17), Senin (18/1/2021), sekitar pukul 15.00 Wita, di tempat tinggal korban, di Kota Mataram.
Selanjutnya berdasarkan visum et repertum, pada bagian intim korban ada luka robek baru tidak beraturan.
Parahnya lagi, AA juga diduga pernah ingin melakukan hal serupa ke anak yang lain.
Atas dugaan perbuataan cabul, AA dikenakan Pasal 82 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, ancaman pidana penjara minimal 5 tahun, maksimal 15 tahun.
Serta ditambah 1 per 3 dari ancaman pidana pokok karena pelaku adalah orang tua kandung dari anak korban.
Berdasarkan pertimbangan itu, maka koalisi mendesak kepolisian membatalkan rencana ‘restorative justice’ dalam perkara tersebut.
Baca juga: Dua Kali Vaksin Wagub NTB Positif Covid-19, Ini Penjelasan Dinas Kesehatan NTB
Baca juga: Wakil Gubernur NTB dan 7 Keluarga Positif Covid-19, Bersyukur Divaksin karena Tanpa Gejala
”Sepatutnya dibatalkan atau tidak perlu dipertimbangkan sama sekali,” katanya.
Yan Mangandar, pengacara publik PBH Mangandar menambahkan, penerapan keadilan restoratif dalam perkara itu bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.