Opini
HUT ke-80 RI, Kami Belum Merdeka
Perasaan Merdeka itu tidak begitu terasa dalam perasaan kesejahteraan, semua hari dan tanggal adalah sama
Oleh: Amir Mahmud
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Mataram
Pagi-pagi buta, 17 Agustus 2025, sebelum matahari terbit, sebagian besar masyarakat di kampung-kampung sudah berbondong bertebaran-sebagaimana bunyi firman tuhan dalam surat Al-Jumuah, ayat 10.
Mereka berada di tengah sawah dan ladang dengan beragam aktivitas yang mereka kerjakan. Hari itu berlalu seperti hari biasanya. Tak ada kesan, tak ada ingatan. Semua adalah hari biasa.
Momentum hari kemerdekaan seolah tak pernah ada. Apalagi hari minggu, Tak ada yang mengingat hari Minggu, 17 Agustus 2025 sebagai hari bersejarah berdirinya sebuah Republik bernama: Indonesia. Republik di mana mereka tinggal, beranak pinak dan mempertahankan kelangsungan kehidupannya.
Bagi petani dan entitas lemah lainnya di kampung-kampung, mungkin juga di perkotaan, hari "Kemerdekaan" tidak begitu penting. Sebab perasaan Merdeka itu tidak begitu terasa dalam perasaan kesejahteraan, semua hari dan tanggal adalah sama. Tak ada hari spesial. Tak ada tanggal spesial, dan tak ada peringatan spesial "Kemerdekaan ke 80 RI".
Kemerdekaan terasa memiliki makna hanya bagi mereka yang hidup menjadi abdi negara (ambtenar), elit kekuasaan, elit politik, dan elit ekonomi sebab ada kucuran dana APBN mengalir ke kantong dan saku mereka. Tak ada yang sungguh-sungguh mengabdikan diri untuk membangun Nusa dan Bangsa.
Baca juga: Momen Paskibra Lombok Timur Menangis Usai Pengibaran Bendera Merah Putih HUT ke-80 RI
Peringatan hari Kemerdekaan yang kita peringati setiap tahun tidak memiliki makna ideologis bagi rakyat Indonesia-setidaknya bagi penulis. Mungkin itu salah satu sebab Bapak Republik, Tan Malaka dalam satu kesempatan diskusi kecil dengan Bung Besar, Sukarno menolak Kemerdekaan yang di janjikan Jepang.
Tan Malaka dalam gagasannya menginginkan Kemerdekaan 100 persen. Kemerdekaan sejati. Kemerdekaan hakiki yang dapat mengasuh Republik kecil yang baru lahir dan tumbuh dengan basis kesadaran kebudayaan yang merdeka. Sehingga apa yang di cita-citakan bapak proklamator membangun negeri dengan prinsip berdiri di kaki sendiri (sikap berdikari) dapat terwujud nyata.
Seremonial kemerdekaan
Peringatan hari Kemerdekaan hanyalah tindakan sremonial. 80 tahun sudah umur Republik Indonesia, yang dulu di gagas dalam Naar de Republiek: pikiran Tan Malaka, rasanya masih relevan, "Kemerdekaan kalian masih diatur segelintir manusia. Harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen". Sepertinya kutipan Tan Malaka tersebut harus kita maknai kembali sebagai gugatan sekaligus refleksi atas pencapaian kemerdekaan kita selama 80 tahun menjaga dan merawat Republik.
Peringatan kemerdekaan 17 agustus 2025 tidak merefleksikan subtansi kemerdekaan. Ia hanya simbol kosong tanpa pergulatan makna internal yang menjadi penanda nasionalisme yang kokoh. Harusnya tindakan simbolik peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke 80 tahun menjadi nilai sakral yang mengendap dalam nurani setiap anak bangsa di seantero Republik indonesia.
Sikap mental yang mengendap dalam nurani itu akan melahirkan kepercayaan berantai dari setiap individu masyarakat dan akan termanivesatsi ke dalam karya-karya kreatif anak bangsa sebagai ruang dialog ke Indonesiaan dan keberadaban.
Kemerdekaan indonesia belum menyentuh tujuan perjuangan para pendahulu. Warisan kemerdekaan masih dinikmati segelintir manusia. Kemiskinan dan pendidikan rendah warga negara masih tinggi. Ketimpangan pembangunan masih terjadi. Rakyat tidak setara dalam semua akses dan keadilan. Di mana-mana setiap sudut negeri wajah kemiskinan, kebodohan, ketakberdayaan, ketidak adilan, terpotret vulgar kamera sosial media. Di sisi lain elit kekuasaan dan politik terpantau nyata berjoget riang di gedung mewah hasil pajak rakyat.
Pemandangan moral pejabat kontras dengan harapan rakyat akan hadirnya pelayanan publik memuaskan, biaya pajak rendah, pendidikan berkualitas, penegakan hukum berkeadilan, transparansi kebijakan, demokrasi berkualitas, dan berbagai prinsip-prinsip pengelolaan negara yang baik.
Maka tidak heran jika ada thesis menyatakan bahwa dalam kurun waktu yang tidak lama Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara. Thesis itu bukan asumsi tak berdasar. Ia sesuatu yang terprediksi berdasarkan perilaku elit kekuasaan dan politik dengan moralitas rendah dalam tata kelola pemerintahan dan kenegaraan.
Beberapa kasus gerakan rakyat yang terjadi menjelang peringatan hari Kemerdekaan ke 80 Republik Indonesia, akibat kenaikan biaya pajak bumi bangunan menyentuh 100 -1000 persen di beberapa daerah menunjukkan tata kelola pemerintahan 10 tahun terakhir sangat buruk. Nihil moralitas dan rasa peduli terhadap masa depan generasi Indonesia berikutnya. Elite-elite kekuasaan dan politik memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, mengatur negara semaunya, mengontrol sistem hukum mempermudah kroni dan keluarganya merampok sumber daya alam dan kekayaan bangsa.
Rakyat menjerit diberbagai daerah. Tanah mereka dirampas perusahaan global, negara abai dan tak peduli keadaan rakyat. Alat-alat state aparatus kekuasaan hadir melindungi kepentingan personal dan corporate raksasa. Rakyat yang "melawan" dianggap musuh. Pembangunan tidak mengikuti kebutuhan rakyat tapi mengikuti kepentingan personal dan pemodal.
Keadilan menjadi barang mahal dan butuh perjuangan melebihi perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan penjajah barat. Ada benarnya ungkapan Sukrno yang mengatakan bahwa perjuangan mempertahankan Indonesia lebih berat dari pada merebut kemerdekaan sebab musuh yang dihadapi adalah saudara sendiri.
Kolonialisme ternyata tidak pernah selesai. Kolonialisme hanya berubah wajah. Tapi prosesnya masih tetap berlangsung. Dulu di abad 19 dan 20 kolonialisme oleh bangsa kulit putih dan mata biru, kini di abad 21 kolonialisme dilakukan oleh kaum sendiri dan pemilik modal. Dan jauh lebih menyakitkan kolonilisme bangsa sendiri karena harus melawan dan membunuh saudara sendiri.
Tapi semua itu harus dijalani sebagai hukum besi sejarah. Kemerdekaan 100 persen tak akan pernah kita nikmati jika kita tidak pernah mau memperbaikinya. Sebab tuan rumah masih berkompromi dengan maling untuk menjarah isi rumahnya. Bahkan tuan rumah adalah maling itu sendiri.
Menutup catatan ini, Hari ulang tahun Republik Indonesia ke 80 : maling dan penjaga hukum masih bersekongkol menjarah kekayaan alam, menghancurkan tatanan moral dan hukum, dan akan terus melakukannya sampai kita rakyat sadar dan bersatu melawan dan melemparnya ke jurang kenistaan hidup sehingga alam dan lingkungan sosial juga enggan meliriknya.
Selamat ulang tahun ke 80 Republik ku tercinta.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.