Opini

Parsel Labaran yang Memiskinkan: Refleksi atas Budaya Konsumsi Kelas Menengah

Parsel lebaran bukan sekadar aktivitas berbagi, melainkan strategi simbolik untuk mempertahankan dominasi dalam arena sosial yang eksklusif.

|
Editor: Sirtupillaili
Dok.Istimewa
Salman Faris. Penulis merupakan Dosen Universiti Pendidikan Sultan Idris (UPSI) Malaysia dan Penulis Novel Guru Dane. (Dok.Istimewa) 

Apa artinya kemenangan jika yang menang hanyalah mereka yang sudah cukup beruntung sejak awal? Apa artinya berbagi jika yang diberi hanyalah mereka yang sudah berkecukupan?

Jika kita melihat fenomena ini dalam konteks yang lebih luas, kita bisa melihat bahwa parsel Lebaran sebenarnya bukan hanya memiskinkan mereka yang miskin, tetapi juga memiskinkan ikatan sosial secara keseluruhan.

Salah satu kekuatan terbesar dalam masyarakat adalah solidaritas sosial, kemampuan untuk saling peduli, untuk saling menguatkan, untuk memastikan bahwa setiap individu memiliki tempat dalam komunitasnya. Namun, budaya parsel yang eksklusif justru memperlemah hal ini.

Dengan tetap menjaga perputaran ekonomi dalam kelompok yang sama, budaya ini memperkuat sekat-sekat sosial yang sudah ada. Alih-alih menjembatani kesenjangan, ia justru memperlebar jurang antara mereka yang mampu dan mereka yang tidak.

Kita bisa membayangkan dampaknya dalam jangka panjang, masyarakat yang semakin terfragmentasi, di mana kelas menengah dan atas semakin sibuk dengan dunia mereka sendiri, sementara kelas bawah semakin merasa terpinggirkan. Ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga soal bagaimana sebuah bangsa kehilangan solidaritasnya. Ini ialah cerminan bagaimana sebuah menuju soliditas yang terancam. Kesatuan dalam bahaya.

Jika kita ingin mengembalikan makna Lebaran yang sesungguhnya, maka kita harus mulai dari cara kita memahami berbagi. Berbagi bukanlah tentang eksistensi sosial, bukan tentang mempertahankan jaringan, dan bukan pula tentang transaksi status. Berbagi adalah tentang memastikan bahwa kebahagiaan tidak hanya dinikmati oleh segelintir orang, tetapi juga oleh mereka yang paling membutuhkan.

Sangat baik dan bijak jika para pemangku kekuasaan, para orang kaya yang masih beriman untuk merefleksi ulang kebiasaan parsel. Bagaimana jika, alih-alih mengirim parsel kepada mereka yang sudah cukup mampu, kita mengalokasikan sebagian dari anggaran tersebut untuk mereka yang benar-benar membutuhkan? Bagaimana jika kita mulai melihat berbagi bukan sebagai kewajiban sosial, tetapi sebagai panggilan iman dan moral sosial? Bagaimana jika kita meyakini bahwa berbagi adalah tanggung jawab kemanusiaan kita yang tanpa sekat?

Menjelang beberapa hari lagi lebaran ini, waktu yang tepat untuk para pemangku kekuasaan, para orang kaya yang masih beriman untuk bertanya pada diri sendiri, apakah kita benar-benar menang, jika yang kita menangkan hanyalah eksistensi kita sendiri? Hanya eksklusivitas kita sendiri.

Lebaran seharusnya menjadi momen kemenangan bagi semua, bukan hanya bagi mereka yang sudah kaya dan berkuasa, tetapi juga bagi mereka yang berjuang setiap hari untuk bertahan hidup.

Malaysia, Penghujung Bulan Puasa, 2025.

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved