Ramadan 2025

Melihat ‘Maleman’ di Lombok Timur , Tradisi Menyalakan Obor di 10 Hari Terakhir Ramadan

Dile jojor terbuat dari kapas yang dicampur dengan buah Jarak selanjutnya dinyalakan layaknya obor

Penulis: Toni Hermawan | Editor: Wahyu Widiyantoro
Istimewa
TRADISI RAMADAN - Dile (lampu) jojor atau obor kecil dinyalakan di Desa Kecamatan Sakra Lombok Timur, Sabtu (22/3/2025). Dile jojor terbuat dari kapas yang dicampur dengan buah Jarak selanjutnya dinyalakan layaknya obor. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Toni Hermawan

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR – Salah satu cara masyarakat Lombok Timur menyambut 10 malam terakhir bulan suci ramadhan adalah menyalakan dile (lampu) jojor atau obor kecil.

Dile jojor terbuat dari kapas yang dicampur dengan buah Jarak selanjutnya dinyalakan layaknya obor dan dipasang di depan rumah atau di tepi jalan.

Pelaksanaan tradisi ini, dilakukan setelah berbuka puasa. 

Di tiap-tiap rumah pada saat pelaksanaan tradisi ini mematikan lampunya.

Lalu diganti dengan Dila Maleman yang ditaruh di tiap rumah hingga pekarangan.

Tradisi Maleman ini banyak dijumpai pada masyarakat Lombok, tidak terkecuali di Desa Songak, Kecamatan Sakra, Lombok Timur.

Baca juga: Tradisi Maleman Dile Jojor, Cara Warga Lombok Timur Sambut Nuzulul Quran

Seorang warga Songak Saepul Hakkul Yakin mengatakan, tradisi Maleman lahir sebagai pengingat turunnya Al Quran pada bulan Ramadhan dan sebagai penerangan. 

Serta pada malam-malam ganjil, diyakini waktu turunnya Lailatul Qadar.

"Tradisi Maleman merupakan perpaduan antara nilai adat dan nilai agama Islam," kata Saepul, Minggu (23/3/2025)

Tradisi ini dilaksanakan dengan berbeda-beda. 

Ada yang pelaksanaannya hanya satu malam ganjil.

Ada juga digelar setiap malam ganjil.

sementara di Songak dilaksanakan setiap malam ganjil yakni malam 21, 23, 25, 27 dan 29.

Tradisi maleman sebagai pengingat bahwa Al Qur'an turun sebagai cahaya penerang saat manusia dalam keadaan dzulumat atau hidup dalam kegelapan.

"Itu dasarnya diperingati dengan menyalakan lampu," ucapnya.

Cahaya itulah yang kemudian terwujud kedalam tradisi maleman. 

Yakni berupa penerang saat hari baru mulai gelap. 


"Mereka boleh menyalakan lampu setelah Dila Maleman ini mati dengan sendiri," ucapnya. 

Pelaksanaan tradisi ini tentu ada pergeseran. 

Menurut tetua di Songak, dulunya pelaksanaan tradisi ini ditandai dengan pemukulan beduk di masjid. 

Sembari pemuka agama berdoa, masyarakat pun mulai menyalakan lampu tradisional tersebut dan ditaruh di sudut rumah dan pekarangan.

Saat ini masyarakat tak perlu lagi menunggu beduk. 

Tetapi, penandanya adalah doa yang dibacakan melalui masjid.

"Sebagian masyarakat pergi ke kuburan keluarganya untuk menyalakan lampu ini," terangnya.

Hingga kini, kata dia, masyarakat masih menggelar kegiatan ini. 

Warga juga membawa dulang atau sajian makanan  ke masjid sebagai bekal berbuka puasa.

“Bawa makanan mengunakan dulang dan nanti disanap secara bersama-sama saat berbuka puasa,” ujarnya.

Ia berharap tradisi-tradisi semacam ini terus dilestarikan. 

Tak hanya sebagai pengingat cahaya Quran, namun sebagai identitas masyarakat.

"Harapanya tradisi-tradisi baik seperti ini terus berjalan, sebagai pengingat kita bahwa Quran turun sebagai cahaya penerang bagi umat manusia," pungkasnya.

 (*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved