Masyarakat-Pemerintah Bisa Tuntut Ganti Rugi Pertamina Soal Pertalite Dioplos Jadi Pertamax
Dalam kasus Pertamax dijual dengan harga yang lebih mahal, tetapi konsumen malah mendapatkan Pertalite sehingga patut diduga melanggar UU Konsumen
TRIBUNLOMBOK.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungap kasus korupsi rekayasa ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang pada anak usaha PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023.
Terungkap pula modus mengoplos Pertalite untuk dijual lagi dalam bentuk produk Pertamax.
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Mufti Mubarok mengatakan Undang Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengatur hak konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
Dalam kasus Pertamax dijual dengan harga yang lebih mahal, tetapi konsumen malah mendapatkan Pertalite sehingga sudah patut diduga melanggar UU Konsumen.
"Konsumen berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada PT. Pertamina melalui mekanisme gugatan yang telah diatur dalam perundang-undangan salah satunya dapat secara bersama-sama (class action) bahkan pemerintah/instansi terkait pun harus turut serta melakukan gugatan karena kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit," jelasnya, Rabu (26/5/2025) dalam keterangan tertulis yang diterima TribunLombok.
Baca juga: Peran 7 Tersangka Korupsi Anak Usaha Pertamina yang Merugikan Negara Rp193 Triliun
Di sisi lain, BPKN selanjutnya akan memanggil Dirut Pertamina untuk meminta klarifikasi terhadap dugaan pengoplosan BBM.
"Selanjutnya melakukan uji sampling terhadap Pertamax yang beredar di SPBU," kata Mufti.
BPKN bersama Pemerintah (Kementerian ESDM dan BUMN) kemudian akan membentuk tim kerja untuk melakukan mitigasi, penyuluhan informasi kepada masyarakat dan aktivasi mekanisme pengaduan konsumen bagi yang mengalami kendala.
BPKN pun meminta Pertamina melakukan pengecekan SPBU di seluruh Indonesia secara berkala.
"Kami mendukung penuh proses hukum di Kejagung," terangnya.

Penjelasan Pertamina
Pelaksana Tugas Harian (PTH) Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Mars Ega Legowo Putra, menegaskan pihaknya tidak melakukan praktik upgrade blending atau pencampuran Pertalite dengan Pertamax.
Hal ini disampaikan Ega dalam rapat kerja dengan Komisi XII DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (26/2/2025) dikutip dari Tribunnews.
Ega memastikan bahwa produk yang diterima dan dijual di SPBU telah sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan.
"Baik yang dari luar negeri maupun dari dalam negeri itu kami sudah menerima RON 92. Yang membedakan adalah meskipun sudah berada di RON 90 dan 92 itu sifatnya masih base fuel artinya belum ada adiktif yang kita terima di Pertamina Patra Niaga ya," kata Ega.
Ega menjelaskan, Pertamina Patra Niaga mengelola bahan bakar mulai dari terminal hingga ke SPBU.
Sementara itu, proses pengangkutan bahan bakar dari kilang ke terminal dilakukan oleh kapal milik Pertamina.
"Tidak ada proses perubahan RON, tetapi yang ada itu Pertamax kita tambahkan adiktif. Jadi di situ ada proses penambahan adiktif dan proses penambahan warna. Proses inilah yang memberikan keunggulan perbedaan dalam produk," ujar Ega.
Ega menjelaskan bahwa proses penambahan aditif ini dikenal sebagai injection blending.
"Blending ini adalah proses yang common dalam produksi minyak yang merupakan bahan cair, namanya ini bahan cair. Jadi pasti akan ada proses blending ketika kita menambahkan blending ini tujuannya adalah untuk meningkatkan value daripada produk tersebut," ucapnya.
Dia menambahkan bahwa setiap bahan bakar yang diterima, baik dari dalam maupun luar negeri, selalu melalui pengujian laboratorium sebelum dan sesudah bongkar muat.
"Setelah kita terima di terminal itu pun di terminal juga melakukan rutin pengujian kualitas produk di tempat-tempat Pertamina itu pun kita terus jaga sampai dengan ke SPBU," tegasnya.
Posisi Kasus Ekspor-Impor Minyak Mentah Pertamina
Sebanyak tujuh orang ditetapkan sebagai tersangka yang terlibat dalam tata kelola minyak mentah produk kilang PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) 2018-2023.
Di antaranya Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.
Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi, beneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Dalam kasus ini, kerugian negara berdasarkan hasil audit sebesar Rp193 triliun.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menjelaskan pada tahun 2018 pemerintah tengah mencanangkan pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari produksi dalam negeri.
Namun, tiga tersangka yaitu Riva, Sani, dan Agus, justru tidak melakukannya dan memutuskan untuk pengkondisian saat Rapat Organisasi Hilir (ROH).
"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ujar Qohar, dikutip dari Tribunnews, Senin (24/2/2025).
Tiga tersangka itu juga kongkalikong dengan broker yaitu Riza, Dimas, dan Gading terkait kegiatan ekspor minyak dari KKKS.
Yakni berupa pengaturan harga yang diputuskan dengan melanggar peraturan demi kepentingan pribadi masing-masing.
"Seolah-olah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," jelasnya.
Riva, Sani, dan Agus memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang.
Dimas dan Gading melakukan komunikasi ke Agus untuk memperoleh harga tinggi meski secara syarat belum terpenuhi.
Riva juga memutuskan membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 meski yang dibutuhkan adalah RON 92.
Di sisi lain, Yoki diduga melakukan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor.
Akibatnya, negara harus menanggung biaya fee mencapai 13-15 persen tetapi Riza justru memperoleh keuntungan.
Qohar mengatakan rangkaian perbuatan tersangka ini membuat adanya gejolak harga BBM di masyarakat lantaran terjadi kenaikan.
Hal ini membuat pemerintah semakin tinggi dalam memberikan kompensasi subsidi.
Terpisah Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan, pihaknya menghormati Kejagung dalam menjalankan tugas.
"Pertamina menghormati Kejaksaan Agung dalam menjalankan tugas serta kewenangannya dalam proses hukum yang tengah berjalan," katanya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (25/2/2025).
Ia menyatakan Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah.
Fadjar mengatakan, Grup Pertamina menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.
"Pertamina menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan tetap berjalan normal seperti biasa," ujarnya.
(TribunLombok.com/Tribunnews.com)
Harga BBM Pertamina Agustus 2025 Turun di NTB, Tapi Naik di Beberapa Wilayah Lain: Ini Daftarnya! |
![]() |
---|
Pertamina dan BPNT Pulihka Harpaan Warga Terdampak Radikalisme di Dompu |
![]() |
---|
Harga BBM di NTB Hari Ini 21 Juli 2025: Pertamax, Dexlite, hingga Turbo di Mataram Turun Tipis |
![]() |
---|
Harga BBM Pertamina Selasa 15 Juli 2025: Pertalite, Pertamax, Solar Terbaru |
![]() |
---|
Daftar Harga BBM Pertamina Hari Ini Senin 14 Juli 2025 Se-Indonesia: Pertamax, Pertalite, Solar |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.