Puisi Nasya Almira: Tinggal di masa lalu, Puan dalam khianat

Berikut selengkapnya Puisi Nasya Almira: Tinggal di masa lalu, Puan dalam khianat

pixabay.com
Ilustrasi bulan. Berikut selengkapnya Puisi Nasya Almira: Tinggal di masa lalu, Puan dalam khianat. 

Oleh: Nasya Almira

 

Tinggal di masa lalu 

Kata orang tua janganlah jatuh pada cinta yang gelap

Menutup batin saat kedua bilah nya bersua

Kata orang tua bolehlah suka yang tidak buat kalap

Pada janji janji yang akan tertunai hanya saat tua 


Kita dulu pernah muda dan saling bertepuk tangan

Akan pencapaian yang dipamerkan dengan tawa

Namun kini kemana perginya segala rasa aman

Setelah gagal disatukan sebagaimana adam dan hawa


Surat indah kau tulis dengan tinta hitam dari pena bulu,

Mengukir ekspresi oleh cinta yang  harus terpenuhi.

Kencan manis di taman jalan berbatu dan sinar mentari,

Sebuah alunan tawa dalam bilik ujung kota sore itu.


Saat mata bertemu di ruang dan jalan yang ramai,

Sirat rahasia dari kedua hati yang berdetak hebat.

Masih terngiang ujung jemari yang tertaut kecil,  

Untuk kembali dilerai agar dunia berhenti berisik.


Hangat berpeluk dengan rembulan di kepala,

Refleksi siluet dibawah jembatan naga tua.

Ujarnya terimakasih telah ada usir segala takut ,

Untuk kemudian hilang bersama senja dan kalut.


Semayam kasih sayang yang tinggal di masa lalu,

Hadirkan luka yang dalam dan perih selalu, 

Namun warnanya jingga indah saat itu, 

Walau hal nya senantiasa takkan lekang oleh waktu. 

Dalam gelap bayangan kepercayaan memang berbohong

 

Puan dalam khianat

Seorang wanita menangis dikhianati dan bertanya gundah

Hatinya bak nyala api yang kini terbakar habis menjadi abu

Sengatan pedih penipuan, dan cambukan ganas penuh bisa.


Mata yang konon cerah kini disana hadir badai,

Badai yang mengaum di bawah langit gulita.

Topeng pengkhianat penuh dusta itu terbentang,

Mengungkap kebenaran saat kepercayaan luruh.


Lidah ular dengan seni perak,

Membisikkan kebohongan yang mengoyak,

Ikatan suci yang begitu erat dipintal,

Kini hancur dan hilang selamanya ditangguhkan.


Kemarahannya bak api unggun yang ganas

Terpercik oleh cinta yang tercemar.

Setiap gema pengkhianatan yang membakar,

Di atas jiwanya bak pasir yang berdesir.


Melalui aliran sungai airmata kemarahan itu mengalir,

Gelombang merah dari kesengsaraan yang nyata.

Dalam tiap kejatuhan ia menemukan suaranya,

Sebuah simfoni rasa sakit dari pilihan yang tak pasti.


Namun di tengah kemarahan telah hadir kekuatan,

Seekor burung gereja hidup kembali dari kobaran api.

Dari cengkeraman pengkhianatan ia membebaskan diri,

Seorang puan dalam cemooh namun bebas selamanya. 

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved