Puisi Nasya Almira: Tinggal di masa lalu, Puan dalam khianat
Berikut selengkapnya Puisi Nasya Almira: Tinggal di masa lalu, Puan dalam khianat
Oleh: Nasya Almira
Tinggal di masa lalu
Kata orang tua janganlah jatuh pada cinta yang gelap
Menutup batin saat kedua bilah nya bersua
Kata orang tua bolehlah suka yang tidak buat kalap
Pada janji janji yang akan tertunai hanya saat tua
Kita dulu pernah muda dan saling bertepuk tangan
Akan pencapaian yang dipamerkan dengan tawa
Namun kini kemana perginya segala rasa aman
Setelah gagal disatukan sebagaimana adam dan hawa
Surat indah kau tulis dengan tinta hitam dari pena bulu,
Mengukir ekspresi oleh cinta yang harus terpenuhi.
Kencan manis di taman jalan berbatu dan sinar mentari,
Sebuah alunan tawa dalam bilik ujung kota sore itu.
Saat mata bertemu di ruang dan jalan yang ramai,
Sirat rahasia dari kedua hati yang berdetak hebat.
Masih terngiang ujung jemari yang tertaut kecil,
Untuk kembali dilerai agar dunia berhenti berisik.
Hangat berpeluk dengan rembulan di kepala,
Refleksi siluet dibawah jembatan naga tua.
Ujarnya terimakasih telah ada usir segala takut ,
Untuk kemudian hilang bersama senja dan kalut.
Semayam kasih sayang yang tinggal di masa lalu,
Hadirkan luka yang dalam dan perih selalu,
Namun warnanya jingga indah saat itu,
Walau hal nya senantiasa takkan lekang oleh waktu.
Dalam gelap bayangan kepercayaan memang berbohong
Puan dalam khianat
Seorang wanita menangis dikhianati dan bertanya gundah
Hatinya bak nyala api yang kini terbakar habis menjadi abu
Sengatan pedih penipuan, dan cambukan ganas penuh bisa.
Mata yang konon cerah kini disana hadir badai,
Badai yang mengaum di bawah langit gulita.
Topeng pengkhianat penuh dusta itu terbentang,
Mengungkap kebenaran saat kepercayaan luruh.
Lidah ular dengan seni perak,
Membisikkan kebohongan yang mengoyak,
Ikatan suci yang begitu erat dipintal,
Kini hancur dan hilang selamanya ditangguhkan.
Kemarahannya bak api unggun yang ganas
Terpercik oleh cinta yang tercemar.
Setiap gema pengkhianatan yang membakar,
Di atas jiwanya bak pasir yang berdesir.
Melalui aliran sungai airmata kemarahan itu mengalir,
Gelombang merah dari kesengsaraan yang nyata.
Dalam tiap kejatuhan ia menemukan suaranya,
Sebuah simfoni rasa sakit dari pilihan yang tak pasti.
Namun di tengah kemarahan telah hadir kekuatan,
Seekor burung gereja hidup kembali dari kobaran api.
Dari cengkeraman pengkhianatan ia membebaskan diri,
Seorang puan dalam cemooh namun bebas selamanya.
Simak Keunikan Potensi Budaya KSB hingga Didorong Membangun Museum Daerah |
![]() |
---|
Refleksi 17 Tahun Dewan Anak Mataram, Puisi Haru dan Pentas Wayang Botol |
![]() |
---|
Pjs Bupati KSB Ingatkan Bahasa Sumbawa Jangan Hilang dari Tradisi Tutur |
![]() |
---|
Gilang Sakti Ramadhan Tur Buku Puisi Amerikano di 10 Titik Pulau Lombok |
![]() |
---|
Komunitas Akarpohon Gelar Majelis Buku Tipis, Delapan Penulis Bicara Proses Kreatif |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.