Seni Budaya

Mei 1998 yang Mencekam, Naskah Lengkap Monolog Anak Kabut Karya Soni Farid Maulana

Monolog Anak Kabut karya Soni Farid Maulana menjadi naskah favorit aktor teater dalam pementasan monolog di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Penulis: Laelatunniam | Editor: Sirtupillaili
Dok.Komunitas Teater Putih
Aktor teater sedang mementaskan naskah monolog 'Anak Kabut' Karya Soni Farid Maulana 

Ya, aku tidak bisa melupakan semua itu, termasuk tidak bisa melupakan kata-kata dan pancaran mata lelaki jahanam itu yang telah mereguk kegadisanku secara paksa.

O, api yang berkobar diluar dan didalam dadaku. Seberapa jarak lagikah kebahagiaan itu bisa kujelang. O, maut yang diam-diam mengintai dan mengendap dalam dadaku seberapa detik lagikah nyawa ini kau paut dari tubuh yang penuh luka ini.

Dan kini: aku mendengar langkahmu menyusuri lorong gelap jiwaku begitu teratur, bagai detik jam. Anngin dan daun-daun jatuh mempertegas sunyi yang kelak mekar pada sisa-sisa ranting patah percakapan kita.

Bulan yang memulas langit dengan warna darah: mengundang ribuan kelelawar yang terbang dari goa dadaku dengan suara aneh.

Sungguh setiap jiwaku merindu cahaya matahari. Malam terasa beku sepadat es di kulkas waktu.

Sedang doa-doa para pelayat, genangan air sisa hujan, wangi kembang setaman dan bau kemenyan beraduk jadi satu. Urat-urat syarafku terasa kaku.

O, maut, kebengisan apalagikah yang kelak kau mainkan dalam konser kematianku ini? Sedang Tuhan sulit dijangkau dari keluh-kesah kegelapanku.

(hening, terdengar tiang listrik dipukul orang berkali-kali. Cahaya panggung sedikit demi sedikit kembali netral. Perempuan itu menjatuhkan kepalanya diatas meja. Kemudian menegakkan kepalanya secara perlahan-lahan seiring dengan suara orang yang melantunkan tahrim dari sebuah masjid yang jauh.)

Jam berapa ini? Ya Tuhan betapa cepat waktu berlalu. Hidupku tidak berubah pula. Jika ini semacam ujian yang harus kutempuh dengan tangan dan kaki berdarah-darah, maka aku jalani semua ini dengan kesabaran tanpa batas.

Ya Allah yang maha pemurah. Jika semua ini adalah siksa dariMu. Semoga apa yang kualami di bumi ini menjadi tebusan bagi kehidupan di akherat kelak yang lebih baik dari apa yang aku alami hari ini.

SELESAI

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved