Seni Budaya
Mei 1998 yang Mencekam, Naskah Lengkap Monolog Anak Kabut Karya Soni Farid Maulana
Monolog Anak Kabut karya Soni Farid Maulana menjadi naskah favorit aktor teater dalam pementasan monolog di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Penulis: Laelatunniam | Editor: Sirtupillaili
Adakah yang terjadi di bula Mei itu akan juga dianggap sebagai fiksi semacam lakon drama yang dibikin haru dan sedih?
Tidak. Semua itu adalah kenyataan yang tidak bisa kuhapus begitu juga dalam ingatanku dan juga ingatanmu yang memperkosa diriku dengan muka yang menyebalkan. Sekali lagi pembunuhan yang terjadi di bulan Mei tidak bisa pula kau hapus dari ingatanmu meski saat ini kau tenang-tenang saja duduk sambil menghisap rokok kesukaanmu di tempat yang jauh. Yang jauh.
Aku yakin kau dan aku sama menderitanya kecuali dirimu telah menjelma iblis yang merajai kegelapan. Dengar, dengan segenap penderitaanku aku kutuk kau hingga hari perhitungan kelak yang tiada seorang pun bisa mengelak dari kepastian hukumNya.
Ya Tuhan yang maha pengasih aku serahkan padaMu. Semata padaMu.
Hening. Sesekali terdengar tiang listrik dipukul orang.
Sayup-sayup terdengar suara hujan yang demikian keras. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya, seperti menuju sebuah jendela terbuka. Lalu balik lagi ke arah semacam meja tulis bagian depannya. Suara nafasnya yang berat terdengar.
Kini setiap malam tiba selalu aku rindukan kekasihku hadir disisiku tidak sekedar membelai rambutku, tetapi juga memelukku. Tapi dimana kekasihku berada? Orang-orang bilang tubuhnya hangus dibakar api. Entah apa kesalahannya, sebagian mengatakan ia mirip dengan intel, sebagian lagi mengatakan mirip dengan provokator dari pihak lawan?
Sungguh, semua tuduhan itu tidak benar. Mana mungkin ia berani melakukan hal yang tidak diketahui dan dikuasainya. Ia hanya seorang buruh bangunan yang kerjanya serabutan. Ia memang punya gelar lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sayangnya, ia tidak punya koneksi hingga tidak bisa jadi pegawai negeri. Karena tidak punya uang jutaan rupiah sebagai uang pelicin. Mereka yang berkuasa di negeri ini dihadapan dirinya benar-benar telah menjelma seekor naga yang lapar dan liar memangsa apa saja.
O kau yang mati di tengah-tengah kerusuhan. Sejumlah orang tak dikenal mengejar dan menyuruhnya masuk ke dalam sebuah bangunan bertingkat, yang setelah itu kemudian dibakarnya gedung tersebut sehabis sejumlah barang-barang yang ada didalamnya dijarah mereka.
O dari dunia mana mereka datang? Apa agama mereka? Mengapa api dan batu harus bicara? Mengapa mereka yang jelas-jelas telah menghancurkan bangsa dan negeri ini kedalam jurang peradaban yang hitam pekat ini masih ongkang-ongkang kaki, bebas dari segala tuntutan hukum? Negeri apakah ini, kok berani-beraninya seorang terpidana tindak korupsi mengajukan diri jadi calon Walikota, Bupati, Gubernur, malah Presiden?
Ya Allah, apa yang sesungguhnya tengah terjadi dengan diriku saat ini? Betapa dari tahun ke tahun aku tidak bisa menghanguskan rasa rinduku pada kekasihku yang kini entah dimana.
Aku masih ingat bagaimana ia pada sebuah malam hari dan tanggalnya kulupa, menulis sebuah puisi untukku, yang kemudian dibacakannya dengan tekanan suara yang malu-malu karena gelora cinta meluap-luap di dadanya.
Saat itu ia duduk di sebelahku sambil membaca sebuah puisi yang baru selesai ditulisnya. Demikian puisi itu dibacanya: duduk di bangku kayu, menghayati sorot matamu yang kelam oleh kabut dukacita aku temukan bintang mati bintang yang dulu berpijar dalam langit jiwaku. Aku temuka kembali-begitu hitam dan gosong dan kau menjerit terpisah dari cintaku.
Dengarkan aku bicara, suaraku bagai ketenangan air sungai, bagai keheningan batu-batu dasar kali melepas bau segar tumbuhan. Bila hari kembang, suaraku membangun kehidupan yang porak poranda oleh gempa peradaban. Ya, kutahu kota yang gemerlap menyesatkan rohanimu dari jalanku. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu: rasa gula yang terperas dari tebu jiwaku. Reguklah, biar jiwamu berkilau kembali. O, bintang yang dulu benderang dalam langit jiwaku.
(terdengar batuk tiga kali dengan tarikan nafas yang terasa berat. Di liar hujan mungki sudah berhenti. Tiba-tiba terdengar suara ledakan dengan amat kerasnya. Perempuan itu segera mendekat ke arah jendela kaca, yang dibiarkan terbuka sejak awal pertunjukan. Dalam pandangan matanya ia seperti melihat kobaran api yang menjulang ke langit jauh.)