Bulan Ramadhan
MUI Yakin Penetapan Hari Raya Idul Fitri 2022 Berpotensi Sama Meski Awal Ramadan 1443 H Berbeda
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meyakini perbedaan awal Ramadan itu tak akan terjadi pada Idul Fitri 2022 atau terkait penetapan 1 Syawal 1443 H
TRIBUNLOMBOK.COM - Pemerintah menetapkan awal puasa Ramadan 1443 Hijriyah jatuh pada Minggu, 3 April 2022 berdasarkan Sidang Isbat.
Namun, ada pula yang sudah mulai puasa Ramadan pada Sabtu, 2 April 2022 sehingga muncul perbedaan awal Ramadan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) meyakini perbedaan awal Ramadan itu tak akan terjadi pada Idul Fitri 2022 atau terkait penetapan 1 Syawal 1443 H.
Baca juga: Tradisi Jelang Ramadan, Warga Mataram Ziarah Makam
Baca juga: 10 Manfaat Kurma Bagi Kesehatan, Menu Buka Puasa Ramadan Populer Kaya Gizi
MUI menyebut lebaran tahun 2022 ini berpotensi dirayakan secara serentak.
"Ya, betul, soal Idul Fitri berpotensi sama," kata Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan, Sabtu (2/4/2022) dikutip dari Tribunnews.
Agar tak ada kecemasan pada masyarakat, Amirsyah mendorong pemerintah bersikap lebih terbuka.
Ia berharap perbedaan tidak akan muncul terkait hari lebaran.
Terlebih, momen istimewa itu membentangkan pula pertalian antara seluruh lapisan masyarakat.
"Atas perbedaan itu pemerintah harus lebih arif dan bijaksana mendengar masukan dari berbagai pihak, sehingga tidak ada potensi perbedaan masuk 1 Syawal 1443 H," kata Amirsyah.
"Kebersamaan lebaran momentum yang sangat tepat untuk kelihatan lebih kompak dalam merajut kebersamaan sesama anak bangsa," sambungnya.
Amirsyah mengatakan ibadah puasa dilakukan berdasarkan niat dan dijalankan sesuai syarat dan rukun.
Karena itu kata dia, masyarakat tak perlu khawatir soal lamanya puasa, apakah 29 atau 30 hari.
Menurut Amirsyah hal itu tak lantas membuat ibadah puasa tidak sah.
"(Puasa mereka) sah sesuai niat, syarat, dan rukunnya," ungkapnya.
Amirsyah juga menerangkan ibadah puasa 1 Ramadan sebenarnya berlaku sama bagi umat di seluruh dunia secara syari’.
Namun, penetapan tanggal dapat berbeda karena metodologi yang berbeda pula.
Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada pedoman hisab hakiki wujud al-hilal.
Rumusan tersebut menggarisbawahi bulan Ramadan dikatakan dimulai bila memenuhi sejumlah kriteria secara kumulatif.
Kriteria tersebut yakni terjadinya ijtima’ (konjungsi) sebelum matahari terbenam.
Selain itu, piringan atas bulan terlihat berada di atas ufuk saat matahari terbenam.
Amirsyah mengatakan kriteria-kriteria itu telah terpenuhi pada Jumat (1/4/2022).
"Pertama, ijtima’ menjelang Ramadan 1443 H terjadi pada Jumat Pahing 29 Sya’ban 1443 H/1 April 2022 M pukul 13.27.13 WIB. Kedua, tinggi bulan pada saat matahari terbenam di Yogyakarta +02o 18’12” (hilal sudah wujud)," kata Amirsyah.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan metode hisab Muhammadiyah dalam menentukan Ramadan, Idul Fitri, Idul Adha hingga waktu-waktu salat ini sudah digunakan sejak lama, yakni sejak organisasi ini didirikan oleh KH Ahmad Dahlan.

"Jadi dalam kaitan ini sebenarnya bukan praktik baru di Muhammadiyah, karena Muhammadiyah berpendapat penetapan awal Ramadan dan akhir Ramadan serta Idul Adha merupakan satu rangkaian dalam ibadah," kata Mu'ti.
Dengan metode itu, kata dia, berapapun posisi hilal jika memang perhitungan sudah masuk maka dihitung sebagai bulan baru.
Hal itu jelas Mu'ti berdasarkan pada firman Allah di beberapa surat, seperti Surat Ar-Rahman maupun Surat Yunus.
Maka sedari awal, lanjut dia, Muhammadiyah telah memutuskan waktu-waktu untuk Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha.
"Jadi selalu kalau Muhammadiyah selalu mengumumkan hasil hisab itu three in one," katanya.
Di sisi lain pemerintah kini mengadopsi standar baru.
Kemenag memakai standar menteri-menteri agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) 2021.
Kriteria baru MABIMS menetapkan hilal dapat diamati jika bulan memiliki ketinggian minimal 3 derajat dan elongasinya minimal 6,4 derajat.
Berdasarkan pengamatan pada Jumat (1/4/2022) malam, bulan masih berada dalam posisi ketinggian kurang dari 2 derajat dan elongasinya sekitar 3 derajat.
"Hilal kemungkinan tidak teramati. Kalau ada yang mengeklaim melihat hilal, dimungkinkan itu bukan hilal. Secara astronomi klaim itu bisa ditolak," terang pakar astronomi, Thomas Djamaluddin saat sidang isbat pada Jumat (1/4/2022).
Terlepas dari pengamatan itu, pihak-pihak terkait tak lantas menjadi saling tuding. Sebab perbedaan interpretasi bersifat relatif.
Perbedaan itu juga tidak akan mengurangi pahala seseorang.
"Dalam menyikapi perbedaan harus dihindari pendapat satu-satunya yang benar, sementara yang lain salah," ujar Amirsyah.

"Al-Qur’an memang memberikan porsi ‘perbedaan pendapat’, porsi ber-ijtihad lebih banyak agar umat Islam kreatif dan dinamis dan dapat bermusyawarah, bersedia untuk berdialog dan saling memahami satu sama lain," imbuhnya.
Amirsyah turut menyinggung urgensi dalam bidang pendidikan keagamaan.
Ia mengusulkan perubahan arah dalam sistem agar masyarakat Indonesia dapat menjadi lebih toleran.
Menurutnya, perbedaan tidak seharusnya melahirkan pertentangan dan permusuhan.
Sebab, perbedaan merupakan rahmat.
"Perlunya reorientasi pendidikan keagamaan yang berwawasan toleransi, sejak dari pendidikan dasar penting diajarkan tentang realitas perbedaan pendapat, dan bagaimana menghargai perbedaan tersebut," papar Amirsyah.
"Ramadan hendaknya jadi momentum teladan mengendalikan, memahami perasaan orang lain, empati dan simpati," katanya.
(Tribunnews.com)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Meski Awal Ramadan Berbeda, MUI Meyakini Idul Fitri 2022 Berpotensi Sama