Berita Bima
Separuh Wilayah NTB Termasuk Kabupaten Bima Berstatus Zona Merah Kasus Stunting, Ini Kata Pemda
Kabupaten Bima masuk menjadi daerah berstatus merah stunting, berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI).
Penulis: Atina | Editor: Lalu Helmi
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Atina
TRIBUNLOMBOK.COM, BIMA - Kabupaten Bima masuk menjadi daerah berstatus merah stunting, berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI).
SSGI tahun 2021 menyebutkan, separuh wilayah di NTB berstatus merah alias memiliki prevalensi stunting di atas 30 persen.
Ada lima daerah berstatus merah, lima berstatus kuning atau memiliki prevalensi stunting antara 20 hingga 30 persen.
Baca juga: Ditinggal Istri, Seorang Pria di Dompu Menenggak Racun Pembasmi Rumput
Baca juga: Jalan Raya di Kota Bima Rusak dan Berlubang Ancam Keselamatan Pengendara
Kabupaten Lombok Timur, menjadi daerah merah terbesar di NTB karena memiliki prevalensi stunting hingga 37,6 persen.
Artinya, dari 100 balita yang dilahirkan 38 orang di antaranya menderita stunting.
Setelah Lotim, kemudian disusul daerah lain yakni Lombok Utara, Lombok Tengah, Kabupaten Bima dan Dompu.
Sedangkan untuk Kota Bima, berstatus kuning bersama Kabupaten Sumbawa, Lombok Barat Kota Mataram dan Kabupaten Sumbawa Barat.
Pemerintah Kabupaten Bima, yang dikonfirmasi melalui Kabag Prokopim Suryadin menegaskan, dari data update tarikan pada Oktober 2021 pada Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (ePPBGM), justeru berbeda.
Data ePPBGM kata Suryadin, diisi oleh kader dan petugas gizi setempat dan dilakukan secara online langsung ke Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
"Kabupaten Bima itu jadi contoh nasional," akunya ketika dikonfirmasi via ponsel, Jumat (25/3/2022).
Menurut Suryadin, data studi status gizi bisa saja berbeda karena data yang dilaporkan oleh kabupaten adalah data rutin, hasil pengukuran operasi timbang dengan sasaran total balita yang ada di seluruh Posyandu di wilayah kabupaten Bima.
Pelaksanaanya lanjut Suryadin, tenaga gizi puskesmas rutin setiap bulan dan diinput di aplikasi ePPBGM secara nasional.
Sementara SSGI dan Riskesdas merupakan data survey tahunan dan 5 tahunan, dilaksanakan oleh enumerator terpilih dengan sasaran sampling sistem tidak sampai 1 persen dari total balita.
"Bisa saja beda hasilnya dan tidak bisa juga disandingkan di antaranya, karena menggunakan metode yang berbeda," pungkas Yan.
(*)