Akademisi Unram Berpendapat soal Permohonan Judicial Review UU IKN

Sejumlah tokoh akademisi dan aktivis secara resmi mendaftarkan permohonan judicial review terhadap Undang-undang nomor 3 tahun 2022 tentang IKN di MK

Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Istimewa
Pradesain Istana Negara berlambang burung Garuda di Ibu Kota Negara (IKN) karya seniman I Nyoman Nuarta. 

Laporan Wartawan Tribunlombok.com, Robbyan Abel Ramdhon

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT - Sejumlah tokoh akademisi dan aktivis secara resmi mendaftarkan permohonan judicial review terhadap Undang-undang nomor 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) di Mahkamah Konstitusi, Selasa (1/3/2022).

Achmad Nur Hidayat, perwakilan inisiator, mengatakan permohonan diajukan terhadap dua aspek sekaligus, yaitu uji formil dan uji materil.

“Para pemohon melihat bahwa UU No. 3 Tahun 2022 bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945 baik dari sisi pembentukannya maupun materi muatannya. Dalam pengujian formil, Para Pemohon melihat pembentukan UU No. 3 Tahun 2022 memiliki cacat formil yang bersifat serius karena berimplikasi pada inkonstitusionalitas UU IKN dari sisi pembentukannya”. ujarnya.

Sementara itu, Prof Syaiful Bakhri, Guru Besar Hukum UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta) yang juga merupakan tim advokat KJR UU IKN mengatakan, tim advokasi memiliki alasan formil kuat serupa dengan gugatan UU Cipta Kerja.

Baca juga: Pembangunan Ibu Kota Negara Segera Dimulai Setelah Presiden Jokowi Teken UU IKN

“Berkaca pada Putusan Mahkamah Konstitusi atas pengujian UU Cipta Kerja yang untuk pertama kalinya mengabulkan permohonan uji formil, Pengujian atas UU IKN juga mendalilkan aspek formil ini dengan argumentasi yang kuat, termasuk merujuk kepada beberapa pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020," jelas Syaiful.

Ia juga memaparkan aspek materi muatan yang akan diuji lewat permohonan tersebut dengan format Otorita.

Itu terkait dengan format otorita sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus penyelenggara IKN bertenrangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18A ayat (1) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.

Berita acara memasuki gedung MK RI berisi informasi penyerahan Judicial Review.
Berita acara memasuki gedung MK RI berisi informasi penyerahan Judicial Review. (Doc. Narasi Institute)

Ie menjelaskan, dalam UU IKN, keberadaan otorita mengandung ketidakjelasan atau dualisme.

"Karena di satu sisi disebut sebagai Pemerintahan Daerah Khusus namun disisi yang lain Otorita merupakan lembaga setingkat Menteri," tandasnya.

Baca juga: Grup WA TNI dan Polri Gaduh Soal Ibu Kota Baru, Jokowi Geram: Sudah Diputuskan Pemerintah & DPR

Prof Syaiful juga mengatakan, di samping alasan konstitusionalitas di atas, aspek lain yang juga turut mendasari permohonan ini adalah tentang waktu pemindahan Ibu Kota Negara dalam UU IKN.

Dari pandangan yang senada, Dr Abdul Malik, salah satu inisiator Komite JR UU IKN, mengatakan dalam pandangan para pemohon, kebijakan dalam UU ini tidak mempertimbangkan kondisi bangsa dan negara hari ini, yang masih berjuang untuk kembali bangkit dalam segala sektor akibat hantaman pandemi Covid-19.

“Seharusnya pemerintah fokus pada kebangkitan ekonomi dan menuntaskan persoalan pandemic covid-19, bukan justru memaksakan kebijakan yang tidak secara langsung berdampak pada masyarakat luas," kata Abdul Malik

Per Selasa kemarin (1/3/2022), diinformasikan, Tim hukum KJR UU IKN sudah mengirimkan 4 koper berkas-berkas bukti terkait UU IKN kepada Mahkamah Konstitusi.

Berbeda dengan pendapat para pemohon, di tempat yang berbeda Doktor Saipul Hamdi, akademisi sosiologi Universitas Matatam, mengingatkan jika standar ibu kota tidak harus ramai.

Ia mengaitkan dengan kondisi Jakarta terkini yang menurutnya sudah tidak berada dalam standar ibu kota.

Sehingga, ibu kota baru cukup menjadi wilayah administratif dan tidak harus industrial.

“Ini akan menimbulkan multi-efect ke depannya. Termasuk pemerataan pembangunan, dari yang sebelumnya hanya ke barat, sekarang dari tengah ke timur,” jelasnya.

Menurutnya, merupakan hal yang wajar bila ada pro dan kontra mengenai proyek pembangunan ini.

Karena itu ia menyarankan kepada pemerintah untuk terus melakukan sosialisasi kepada semua elemen masyarskat, agar proyek ini bisa lebih terbuka dan evaluatif secara publik.

"Pemerintah perlu menjelaskan kepada publik untuk merasionalisasi situasi," tandasnya.

Kepala Editor Pusat Studi Islamic Culture and Society (ICS) ini juga berpendapat, faktor geografis ibu kota juga perlu menjadi pertimbangan.

Menurutnya, ibu kota negara mestinya aman secara lingkungan dan tidak padat penduduk.

Karena itu, ia setuju dengan pembangunan IKN baru tersebut.

"Saya berharap ini bisa berjalan lebih baik, dengan melibatkan diskusi-diskusi bersama lebih banyak pihak lagi supaya tetap dalam koridor yang objektif," tutupnya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved