Kisah Murid SD di Lombok Barat Belajar di Kebun, Usai Terdampak Gempa, Tergusur Proyek Bendungan
Murid SDN 3 Bukittinggi, Desa Bukittinggi, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat belajar di kebun, hutan, sampai ke tepi sungai
Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Wahyu Widiyantoro
Laporan Wartawan TribunLombok.com, Robbyan Abel Ramdhon
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – Murid SDN 3 Bukittinggi, Desa Bukittinggi, Kecamatan Gunungsari, Lombok Barat belajar di kebun, hutan, sampai ke tepi sungai.
Murid dan guru melaksanakan belajar mengajar tanpa gedung sekolah yang layak, pascagempa bumi tahun 2018 dan terdampak proyek Bendungan Meninting.
Proses belajar mengajar di SDN 3 Bukittinggi terpaksa menempati lokasi seadanya meskipun tidak maksimal.
Guru SDN 3 Bukittinggi Kasirun kepada TribunLombok.com bercerita soal akses jalan ke tempat lokasi belajar masih begitu sulit.
Bahkan untuk proses belajar-mengajar harus berpindah-pindah dari kebun ke kebun, hutan ke hutan, ke pinggiran sungai, hingga ke rumah warga bersama para murid.
“Tidak kondusif. Kalau sudah panas sekali kita harus cari tempat yang teduh, belum lagi kalau musim hujan, bubar sudah,” keluhnya, Senin (31/1/2022).
Baca juga: Pengrajin Rotan Gunungsari Lombok Barat Siapkan Motif Baru Jelang MotoGP Mandalika 2022
Baca juga: 4 Rekomendasi Wisata di Lombok Barat, dari Pantai Hingga Hutan
Jika pun menggunakan fasilitas belajar berupa kursi dan meja, Kasirun bersama guru dan murid harus mengangkut sendiri barang-barang itu tiap kali berpindah lokasi.
Sejumlah fasilitas itu pun belum diperbarui karena merupakan bekas peninggalan dari sekolah lama yang tergusur.
Kendati demikian, para murid yang menjadi peserta didik, diakui Kasirun, tidak banyak mengeluh terhadap kondisi mereka.
“Sudah terbiasa mereka, karena ada yang sejak awal sudah belajar di luar, di alam ini,” ujarnya.
Untuk mensiasati kondisi lapangan yang tidak mendukung, para guru sering berpencar membawa murid mereka ke tempat yang nyaman.
Bahkan jarak antara satu kelompok belajar ke kelompok lain bisa sampai 7 kilometer.
Meski dalam kondisi memperihatinkan, Kasirun bercerita, para guru tetap bersemangat.
Hal itu berkaitan dengan misi pendidikan untuk membentuk karakter bangsa, terangnya.
“Membangun kesadaran pendidikan itu tidak sebentar, butuh waktu bertahun-tahun, semangat itu yang kita jaga, jangan sampai patah,” urai Kasirun.
Dia menambahkan, pihak sekolah membangun kesadaran pendidikan tidak hanya kepada para murid tetapi juga orang tua murid.
“Dulu banyak anak-anak disuruh bantu orangtua mereka di kebun atau bertani, mayoritas di sini begitu pekerjaannya memang. Nah, sekarang kesadaran bahwa pendidikan itu penting sudah tumbuh,” kata pria yang menjadi guru wali itu.
Dia mengingatkan, kondisi pendidikan yang memperihatinkan justru mematahkan semangat pendidikan yang sudah dibangun bertahun-tahun itu.
Kasirun bersama pihak sekolah sudah berkali-kali mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah daerah hingga ke dewan, namun kerap mendapatkan respons yang tidak memuaskan.
“Kami ke sini enggak ada respons, kami ke situ enggak ada respons, tunggu bertahun-tahun akhirnya, menunggu dengan sisa-sisa harapan,” ucapnya.
Kasirun berharap agar para pemangku kebijakan dapat lebih memperhatikan pendidikan di daerah.
Menurutnya, apa yang dilakukan guru-guru SDN 3 Bukittinggi adalah langkah awal yang menentukan generasi Indonesia ke depannya.
“Memang tanggung jawab pembangunan diserahkan ke pihak bendungan, tapi kami tetap ingin diperhatikan oleh pemerintah setempat,” pungkasnya.
Relawan Pendidikan Kelas Inspirasi Gina menerangkan, kondisi para murid amat membutuhkan perhatian.
Ia menggambarkan bagaimana sisa bangunan sekolah yang tersisa tidak memiliki sekat dengan alam.

“Di dalam kelas banyak ayam yang berkeliaran dan mengeram, juga kotor dan berdebu, tentu sangat tidak layak,” tegas Gina, Selasa (1/2/2022).
Kelas Inspirasi merupakan kelompok sosial yang bergerak di bidang pendidikan dengan terjun langsung ke sekolah yang membutuhkan perhatian.
Dalam program Kelas Inspirasi, para relawan diminta berbagi pengalaman dari profesi mereka yang beragam dan memberikan motivasi mengenai pentingnya pendidikan.
Gina yang saat ini merupakan mahasiswa Magister Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, mengaku kesulitan menjelaskan profesinya kepada siswa SD.
Karena itu dia memilih mengajar Bahasa Inggris saat berkunjung ke SDN 3 Bukit Tinggi.
Dari pengamatan Gina, para murid punya semangat belajar yang tinggi.
Padahal fasilitas dan seragam sekolah yang mereka gunakan jauh dari kata layak.
“Ada yang pakai seragam pramuka, seragam merah putih, hingga pakaian bebas dengan alas sandal jepit. Pakaian mereka tampak lusuh, bahkan ada yang resletingnya sudah rusak dan diganti peniti,” ujarnya.
Gina pernah mengajar murid kelas 3 dan 1 dengan total murid 11 orang.
Dia mengutarakan pengalamannya merasakan menjadi relawan kelas inspirasi untuk SDN 3 Bukittinggi.
“Saya merasa malu karena sudah memperoleh akses pendidikan yang sangat layak tapi kadang masih malas. Sementara adik-adik ini sangat antusias belajar. Kelas inspirasi yang datang menginspirasi, justru mendapatkan hal yang sebaliknya,” tandas perempuan berkacamata itu.
Gina berharap pemerintah merencanakan dengan matang segala proyek pembangunan dan perkembangan pendidikan.
Jangan sampai hal yang sama terulang seperti yang dialami SDN 3 Bukittinggi.
“Jangan sampai proyek-proyek pembangunan mengorbankan generasi penerus bangsa. Banyak dari mereka yang tidak bisa datang ke sekolah karena benar-benar tidak terjangkau, ditambah medan yang ekstrim,” tegasnya.
Bahkan, Gina menyebut para guru harus memutar jauh mendatangi rumah-rumah siswa agar tetap bisa memberi pendidikan pada anak didiknya.
Sampai berita ini ditulis, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Lombok Barat selaku otoritas setempat belum merespons Tribunlombok.com saat dihubungi.
(*)