Kuliner Lombok
Kisah Jagung Bakar yang Melegenda di Batu Layar
Berjualan jagung bakar di Batu Layar sejak 25 tahun yang lalu. Pendapatan selama beberapa tahun terakhir terus mengalami penurunan.
Penulis: Robbyan Abel Ramdhon | Editor: Lalu Helmi
Laporan Wartawan Tribunlombok.com Robbyan Abel Ramdhon, Lombok Barat
TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK BARAT – Suhaimi (68) tak menyangka akan begini sepi jadinya tempat dia berjualan sekarang.
Tuturnya, pandemi covid-19 dua tahun belakangan membawa dampak yang lebih buruk ketimbang gempa lombok 2018.
“Pas gempa 200 jagung bisa habis dalam waktu dua hari, kelapa sampai 700 (butir), nah covid ini tidak ada sama sekali,” katanya, menatap kursi-kursi yang sepi pengunjung, Selasa (25/1/2022).
Biasanya Suhaimi berjualan jagung bersama suaminya di tepi jalan belokan Batu Layar ke arah Senggigi, Lombok Barat.
Baca juga: Kumpulan Resep Jagung Bakar, Inspirasi Menu Bakaran Malam Tahun Baru, Ada Jagung Bakar Keju Pedas
Baca juga: Prostitusi Berkedok Spa di Batu Layar Terbongkar, Polres Lombok Barat Tangkap Seorang Muncikari
Namun kini suaminya sedang menjalani pengobatan akibat paru-paru basah dan Suhaimi terpaksa berjualan seorang diri.
“Kalau dulu sebelum di sini, bapak itu jualan keliling dari sekolah ke sekolah, desa ke desa,” kisah Suhaimi, menerangkan latar belakang suaminya.
Suhaimi yang merupakan istri kedua mulai ikut berjualan sejak empat tahun lalu.
Sementara Salinah sendiri sudah berjualan di Batu Layar sejak dua puluh lima tahun lalu.
“Waktu jaman pak Harto (Presiden RI ke-2), malah sebelum ada jalan terusan ke Senggigi,” katanya.
Di waktu sebelum Lombok dilanda gempa, Suhaimi bersama suaminya biasa berjualan selama 24 jam.
Mereka bahkan memasang gorden di belakang gerobak untuk membuat “kamar” tempat mereka tidur.
“Tinggal di sini sudah, tidak pernah pulang,” kata Suhaimi, menunjuk bagian belakang rombong yang disulap menjadi kamar.
Walau begitu, Suhaimi kini mulai menyesuaikan waktu bukanya seiring sepinya pelanggan.
“Setelah covid ini, cuma dari jam tujuh pagi sampai jam sepuluh malam, bisa lebih cepat kalau sedang sepi sekali,” jelasnya memberikan senyum tipis.
Ditambah tiga bulan terakhir, tambah ibu satu anak itu, musim hujan masih melanda Lombok dan itu membuat pelanggan semakin sepi.
Adapun pagelaran event WSBK November 2021 lalu juga tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kenaikan jumlah pelanggan yang datang.
“Tidak terlalu ramai waktu itu (WSBK), tapi ya ada, saya sih tidak berharap banyak,” kenangnya.
“100 butir (kelapa) saja, belum tentu habis dalam waktu tiga hari,” tandasnya lagi.
Suhaimi menceritakan bagaimana di saat-saat waktu sepi pengunjung, beberapa pelanggannya pernah tiba-tiba datang berkunjung.
“Ada orang-orang dari Jakarta kalau ke Lombok pasti langsung ke sini sebelum ke hotel, cina-cina Jakarta itu,” kenangnya.
Kata Suhaimi, para pelanggannya di Jakarta mengenal tempat berjualannya sebagai tenda biru merunut warna tenda di atas gerobak.
Kini tempat berjualan Suhaimi sedang menunggu penyelesaian perbaikan dari pemerintah, karena di sisi bagian timur bahu jalan dekat tempat dia menaruh gerobak ambruk akibat ombak besar selama musim hujan.
“Tidak ada tempat lain untuk pindah, penuh semua. Tapi memang di sini banyak yang incar juga,” akuinya.
Lokasi berjualan tersebut sudah ditempati suaminya sejak puluhan tahun lalu, mereka pun tidak membayar biaya sewa.
Kecuali ketika masyarakat setempat meminta sumbangan untuk pembangunan masjid atau acara-acara tahun baru.
Suhaimi menyediakan dua puluh pasang kursi-meja di tempatnya, yang diganti tiap tahun karena lapuk.
Kini kursi-kursi itu rencananya akan dikurangi menyesuaikan dengan jumlah pengunjung yang datang.
Untuk seporsi jagung, pengunjung bisa membayar seharga Rp8 ribu saja, sementara sebutir buah kelapa seharga Rp15 ribu.
Berkaitan dengan akan diselenggarakannya event MotoGP Mandalika 2022 mendatang, Suhaimi berharap supaya banyak tamu hotel yang mampir ke tempatnya.
“Ya, semoga tamu-tamu itu mampir ke sini,” kata Suhaimi,
lalu bangkit saat melihat dua pelanggan pertama datang sore itu.
(*)