Madrasah Ditutup Kolonial, Adik TGKH Muhammad Zainuddin Gugur saat Menyerang Markas NICA

Pahlawan nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.

Dok. NW dari Dinas Sosial NTB
TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (tengah) foto bersama para santri dan penghuni panti asuhan, di Panti Asuhan Darul Aitam NW. 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM – Pahlawan nasional Tuan Guru Kiyai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid menjadikan pesantren sebagai basis perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan.

Sosoknya memang tidak dikenal sebagai pahlawan yang mengangkat senjata di medan perang.

Tapi dia menjadi peletak dasar semangat perjuangan masyarakat merebut kemerdekaan dari kaum penjajah.

Melalui pendidikan, dia juga berjuang memerdekakan masyarakat dari keterbelakangan ilmu pengetahuan akibat penjajahan ratusan tahun.

Setelah mendirikan pesantren Al-Mujahidin sebagai basis perjuangan di fase awal, dua tahun kemudian, tahun 1936, dia mendirikan madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI).

Semacam sekolah tempat belajar mengajar agama Islam yang memiliki kelas dan kurikulum, dengan metode pengajaran klasikal.  

Karena masih di bawah penjajahan Belanda, dia mengajukan izin pendirian NWDI ke Hindia Belanda Controlier Oost Lombok di Selong, Lombok Timur, tahun 1936.

Baca juga: Peringati HUT ke-76 RI, Penyelam Kibarkan Bendera Merah Putih di Pantai Kecinan Lombok Utara

Izinnya keluar tanggal 17 Agustus dan diresmikan 22 Agustus tahun 1937.

Madrasah tersebut diberi nama NWDI yang secara etimologis, nahdlah berarti perjuangan, kebangkitan, dan pergerakan.

Kata wathan berarti tanah air, bangsa, dan negara. Sedangkan diniyah Islmiyah berarti agama Islam.

Pemberian nama madrasah NWDI ini merefleksikan suasana psikologis dan kondisi sosial saat itu, terkait semangat patriotisme dan perlawanan terhadap penjajah.

Dikutip dari buku ‘Dari Nahdlatul Wathan untuk Indonesia’ terbitan Dinas Sosial NTB tahun 2017, dengan tim penyusun Dr Abdul Fattah dkk, pemberian nama madrasah Nahdlatul Wathan menunjukkan Zainuddin muda sudah menemukan bentuk perjuangan lebih matang.

Meletakkan perjuangan dalam konteks kebangkitan nasional, negara, dan bangsa.

Madrasah NWDI meletakkan perjuangan di Lombok sebagai bagian dari apa yang sedang diperjuangkan seluruh rakyat nusantara.

Baca juga: Warga Sumbawa Digegerkan Penemuan Mayat Nenek di Kebun Jagung, Tubuhnya Penuh Luka

Keberhasilan mendirikan madrasah NWDI kemudian mengilhami pendirian madrasah serupa khusus bagi kaum perempuan, yakni Nahdlatul Banat Diniyyah Islamiyah (NBDI), 21 April 1943 atau 15 Rabiul Akhir 1362 Hijriyah.

Uniknya pendirian NBDI bertepatan dengan perayaan Hari Kartini, sebagai tonggak kebangkitan kaum perempuan di Indonesia.

Abdul Fattah dkk, dalam buku ‘Dari Nahdlatul Wathan untuk Indonesia’  juga menyebut, pendirian madrasah NWDI dan NBDI bukan sekedar untuk belajar agama.

Tetapi juga sebagai basis awal dan pusat perjuangan melawan penjajah Belanda maupun Jepang.

“Di tengah kuatnya tekanan pemerintah kolonial, madrasah digunakan untuk menumbuhkembangkan jiwa dan semangat perjuangan, serta sikap patriotisme dan pantang mundur menghadapi perlakuan pemerintah kolonial.”

Karena itu, keberadaan madrasah NWDI dan NBDI yang didirikan TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid kerap dipersoalkan pemerinah kolonial Belanda maupun Jepang.

Bahkan dua madrasah tersebut sempat ditutup di masa penjajahan Jepang.

Kolonial Jepang menilai pelajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris di madrasah NWDI dapat menjadi kunci untuk mengetahui kelemahan pihak kolonial.

Selain itu, Jepang juga menganggap madrasah dijadikan tempat menyusun strategi dan taktik melawan kolonial.

Sehingga Jepang meminta pelajaran kedua bahasa tersebut dihapuskan, dan melakukan pengawasan yang ketat di madrasah.

Tapi TGKH Muhammad Zainuddin menolak.

Baca juga: Sepak Terjang Pahlawan Nasional TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Pendiri Pesantren Al-Mujahidin

Ia tetap mempertahankan pelajaran bahasa Arab dan Inggris dengan asalan bahasa Arab adalah bahas Alquran, dan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia.

Madrasah juga dijadikan tempat mendidik calon penghulu dan imam yang berfungsi mengurus peribadatan dan perkawinan umat Islam.

Mendengar penjelasan itu, pemerintah kolonial Jepang mengirim laporan ke atasannya di Singaraja Bali.

Tidak lama kemudian, terbit surat keputusan bahwa NWDI diberikan tetap buka dengan syarat nama madrasah diubah menjadi sekolah penghulu dan imam.

Pasca Deklarasi Kemerdekaan 

Setelah Jepang kalah dari sekutu dan Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan di Jakarta, situasi di Lombok justru semakin genting.

Tentara Australia yang ditugaskan sekutu mendarat di Ampenan, Pulau Lombok, 30 November tahun 1945.

Disusul kedatangan Netherlands Indies Civil Administration (NICA) bentukan Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia.

Untuk melawan itu, TGKH Muhammad Zainuddin menggerakkan para santri, guru NWDI dan NBDI membentuk organisasi yang disebut gerakan al-Mujahidin.

TGH Muhammad Faisal Abdul Majid, adik kandung  TGKH Muhammad Zainuddin yang juga guru di NWDI ditunjuk memimpin gerakan ini.

Mereka bergabung dengan gerakan Banteng Hitam, gerakan bambu runcing, BKR, dan API di Pulau Lombok.

Baca juga: Cemburu Lihat Pacar Dibonceng Pria Lain, Pemuda Sumbawa Ini Kalap dan Lakukan Penganiayaan

Mereka menyatukan langkah mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan 17 Agustus 1945.

Hari Sabtu tanggal 7 Juni 1946, dini hari, kelompok pejuang pimpinan TGH Muhammad Faisal dan Sayid Saleh menggempur markas Gajah Merah NICA di Selong, Lombok Timur.

Karena persenjataan tidak imbang, Muhammad Faisal bersama dua orang santrinya gugur dalam peristiwa penyerangan tersebut.

Sayid Saleh, pemimpin Laskar Basmi dari Pringgasela yang ikut menyerang juga gugur.  

Atas penyerangan itu, dalam sidang resminya, NICA memutuskan untuk menutup madrasah NWDI dan NBDI.

Madrasah NWDI dan NBDI di-blacklist sebagai markas gelap pribumi.

Madrasah dituding sebagai tempat mengatur strategi perlawanan.

Sejumlah guru madrasah ditangkap dan sebagian diasingkan ke daerah lain.

Termasuk adik-adik TGKH Muhammad Zainuddin dipenjara dan diasingkan ke daerah Ambon, Maluku.

TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dalam pengawasan ketat pasukan sekutu yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Ancaman demi ancama ditujukan kepadanya.

Meski menghadapi banyak tekanan, dia tetap berjuang membesarkan madrasah yang kelak melahirkan banyak kyai atau tuan guru.

Berita terkini di NTB lainnya.

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved