Perdagangan Orang di NTB

Termakan Tipu Daya Tekong, Korban TPPO Kantongi Paspor ‘Kosong’

Kala itu, Husniyah sedang kepepet. Dia membutuhkan uang untuk membiayai buah hatinya, Layla (18), seorang anak berkebutuhan khusus. 

Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
TribunLombok.com/Sirtupillaili
PENYINTAS: Husniyah bersama anaknya duduk di rumah kontrakan sempit di Praya, Lombok Tengah, Minggu (21/3/2021). 

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Sirtupillaili  

TRUBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TENGAH - Rinjani bukan satu-satunya korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dia hanya salah satu buruh migran yang menjadi korban tipu muslihat sindikat pedagangan orang.

Husniyah (54), warga Kelurahan Leneng, Praya, Lombok Tengah pun mengalami nasib serupa.

Dia juga diberangkatkan ke Timur Tengah menggunakan identitas palsu, April 2019 silam.

“Saya berangkat seminggu setelah pemilihan presiden,” tuturnya, di rumah kontrakannya, Minggu (21/3/2021).

Kala itu, Husniyah sedang kepepet. Dia membutuhkan uang untuk membiayai buah hatinya, Layla (18), seorang anak berkebutuhan khusus. 

Tanpa pikir panjang dia pun menerima tawaran seorang sponsor (tekong lapangan) perusahaan pengerah tenaga kerja.

Agen menjanjikan Husniyah dikirim bekerja di Arab Saudi dengan iming-iming gaji besar.

Sayangnya, usia Husniyah terlampau tua untuk menjadi seorang pekerja migran. Dia dianggap tidak memenuhi syarat lagi untuk dikirim ke luar negeri.

Tapi bagi si tekong, hal itu bukan kendala. Asalkan Husniyah mau, dia bisa mengatur semua kelengkapan dokumen pemberangkatannya.

Termasuk soal data kependudukan, dia bisa mengatur supaya nama dan usia calon buruh migran diubah.

Sejurus kemudian, Husniyah dipanggil dan mendapatkan identitas baru. Dia menerima selembar kertas putih yang menjadi identitas barunya.

Kertas itu berupa surat keterangan (suket) pengganti e-KTP. Kebetulan saat itu blangko KTP elektronik sedang kosong, sehingga diganti menggunakan surat keterangan tersebut.

Di dalam KTP, namanya bukan Husniyah lagi, tapi nama orang lain.

Setelah itu, si tekong membawanya ke Kabupaten Sumbawa untuk membuat paspor. ”Sampai di sana saya difoto dan paspor langsung jadi,” katanya.

Dia masih heran kenapa diarahkan membuat paspor ke Kabupaten Sumbawa yang jaraknya jauh.

Dia harus menyeberang pulau menggunakan kapal feri.

Sementara kantor Imigrasi Kelas IIA Mataram lebih dekat dari rumahnya.

Dalam waktu singkat, Husniyah dan empat orang lainnya mendapatkan paspor dan visa.

Setelah itu, mereka baru tahu tidak akan dikirim ke Arab Saudi, tetapi ke Kota Arbil, Irak.

Mengetahui Irak sedang dilanda konflik, mereka ketakutan. Seorang di antara mereka nekat kabur sebelum berangkat.

”Kami waktu itu kemudian diancam-ancam, kalau ada yang kabur lagi akan dituntut ganti rugi Rp 45 juta,” katanya.

Husniyah dan tiga orang lainnya tidak berani kabur.

Terlebih, sebelum berangkat dia meminjam uang ke tetangga puluhan juta sebagai bekal anaknya yang akan dititipkan ke rumah saudara.

Utang itu rencananya akan diganti setelah dia mendapat pekerjaan di Arab Saudi.

Husniyah pun berangkat dengan perasaan cemas dan takut.

Benar saja, sampai di Irak, mereka mendapati kota itu sedang dilanda peperangan. Hampir setiap hari pesawat tempur terdengar mondar mandir di atap rumah.

Mereka disekap di kantor agen. Tidak mungkin bisa keluar. Tembok pagar kantor itu dilingkari aliran setrum listrik.

Lama kelamaan mereka mulai tidak betah disekap di dalam kamar. Makanan yang diberikan sangat tidak layak.  

”Sampai saya berdoa, ya Allah jatuhkanlah satu bom ke tempat ini biar saya bisa keluar,” kata Husniyah.

Karena terus protes dan tidak mau disuruh bekerja, Husniyah akhirnya dipulangkan agen ke Indonesia.

Sampai di Bandara Surabaya, Husniyah sudah ditunggu petugas kepolisian.

Di sana dia diinterogasi dan menceritakan semua pengalamannya ke petugas.

”Ternyata paspor saya ini kosong semua (bukan pelancong atau pekerja). Padahal ini saya pakai berangkat dari Lombok sampai Arbil (Irak). Ternyata pakai keterangan palsu, saya tidak tahu,” katanya, heran.

Husniyah pun sangat terpukul dengan kenyataan itu. Selama ini dokumen perjalanan diuruskan pihak sponsor dan agen.  

Merasa tertipu, Husniyah sangat kecewa dan kesal dengan sponsor yang memberangkatkannya.

Mereka mengatakan sejak awal berangkat secara resmi. Semua dokumen pemberangkatan diurus mereka.

Tapi kenyataan Husniyah dibuat luntang lantung di negeri orang tanpa kepastian. Bahkan nyawa mereka menjadi taruhan karena dikirim ke negara konflik. 

Pulang ke kampung halaman, dia kini amat terbebani dengan utang puluhan juta. Semua itu harus ditanggung sendiri.

”Saya sekarang setiap hari jadi pemulung sampah untuk bertahan hidup,” katanya. 

(*)

Sumber: Tribun Lombok
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved