Perdagangan Orang di NTB
Tekong Kongkalikong dengan Oknum Petugas Camat hingga Dukcapil
Mereka diberangkatkan dengan dokumen palsu. Usia dan alamat diubah jaringan tekong dan agen. Mereka tidak dikirim ke negara tujuan yang dijanjikan
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Wulan Kurnia Putri
Karena pemeriksaan di Lombok Utara ketat, sindikat ini mengurusnya di Lombok Barat.
Daerah yang masih lemah pemeriksaan administrasi kependudukannya akan dimanfaatkan para tekong.
”Si tekong ini sudah tahu celah daerah mana yang bisa dia masuki,” ungkap Arya.
Meski telah menggunakan sistem elektronik, mereka tetap mencari celah untuk meloloskan calon pekerja migran rekrutannya.
”Selalu ada celah-celah untuk manipulasi dan pemalsuan identitas untuk bisa diberangkatkan ke luar negeri,” ungkapnya.
Dalam kasus Rabitah, Ombudsman mencatat, si tekong bernama Ijtihad mengurus administrasi kependudukan sampai tingkat kecamatan dan bisa mendapatkan KTP untuk berangkat ke luar negari.
Nama Rabitah pernah membuat heboh pemerintah Indonesia.
Tahun 2017, ginjal Sri Rabitah diduga hilang ketika bekerja di Qatar, Timur Tengah.
Baca juga: Termakan Tipu Daya Tekong, Korban TPPO Kantongi Paspor ‘Kosong’
---
Serupa dengan kasus Rinjani, Husniyah, dan Rabitah, Juni 2019, Polda NTB merilis kasus TPPO dengan korban UH (13) dan kakaknya SH (20).
Mereka dijanjikan akan dikirim ke Abu Dhabi dengan iming-imingi gaji Rp 6 juta per bulan.
Dalam kasus ini, Polda NTB membekuk lima orang tersangka kasus TPPO yang memberangkatkan 19 orang korban ke Timur Tengah, April 2019.
Dua dari lima tersangka mengirim anak di bawah umur. Mereka adalah Baiq Asmin (48), warga Kuripan Lombok Barat dan Baiq Hafizahara alias Evi, warga Lombok yang menetap di Malang, Jawa Timur.
Berdasarkan keterangan Baiq Asmin kepada polisi, sebelum memberangkatkan UH dan SH ke negara tujuan, dia membuatkan paspor, KTP, hingga medical check up. Seluruh biaya administrasi tersebut ditangung Baiq Asmin.
Dalam kasus TPPO lain, seorang perekrut biasanya mendapatkan Rp 14 juta per kepala.