Hutan di NTB Semakin Gundul, Banyak Daerah Kehilangan Mata Air
Kerusakan hutan di Provinsi NTB menyebabkan sekitar 300 mata air hilang. Tapi di musim hujan bencana banjir dan longsor justru mengancam.
Penulis: Sirtupillaili | Editor: Maria Sorenada Garudea Prabawati
Laporan wartawan Tribunlombok.com, Sirtupillaili
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM-Kerusakan hutan di Provinsi NTB tidak hanya berpotensi menyebabkan banjir di musim hujan.
Perusakan hutan juga membuat ratusan mata air hilang di sejumlah wilayah.
”Banyak daerah yang sudah kehilangan mata air karena hutan habis dibabat,” ungkap Gubernur NTB H Zulkieflimansyah, Sabtu (31/10/2020).
Persoalan tersebut akan menjadi perhatian serius pemerintahnya.
Penebangan pohon yang terjadi saat ini, baik untuk pembukaan lahan jagung maupun illegal logging harus ditekan.
Ia meminta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB dan tim yang dibentuk bekerja lebih keras menangani persoalan tersebut.
Data Dinas LHK NTB menunjukkan, kerusakan hutan membuat sekitar 300 mata air hilang di wilayah NTB.
Dari 700-an mata air yang terdata, sekarang hanya tersisa sekitar 400 titik mata air.
”Mata air yang hilang ini dalam arti debit airnya jauh berkurang, hanya sedikit yang keluar. Tapi sebagian lagi airnya sudah tidak ada,” kata Kepala Dinas LHK Provinsi NTB H Madani Mukarom.
Mata air yang hilang sama sekali ini banyak ditemukan di luar kawasan hutan.
Kondisi itu terjadi salah satunya akibat pembalakan liar dan pembukaan hutan untuk tanaman semusim.
Baca juga: VIRAL Pengantin Mirip Jokowi di Lombok, Warga Heboh
Baca juga: Hutan Semakin Gundul, Gubernur NTB Larang Pengiriman Kayu Keluar Daerah
Lambat laun sumber-sumber air pun berkurang. ”Kalau tutupan lahan bagus, mata air akan banyak,” jelasnya.
Untuk menyelamatkan hutan dan mata air itu, Dinas LHK melakukan beberapa upaya, salah satunya reboisasi.
Namun upaya itu tidak akan cepat menyelamatkan lahan kritis, butuh waktu bertahun-tahun.
Baginya, pekerjaan yang paling berat saat ini adalah mengubah mindset masyarakat.
Warga diharapkan memanfaatkan hutan dengan cara-cara yang tidak merusak. Jika hutan terus dirusak, maka bencana kekeringan dan banjir setiap waktu mengancam.
”Ketika musim kemarau daerah-daerah di dekat kawasan hutan justru mengalami kekeringan,” ujarnya.
Harusnya ketika musim kemarau, persediaan sumber air masih bisa mengurangi dampak kekeringan.
Begitu juga saat ini, memasuki musim hujan potensi banjir bandang sangat besar. ”Karena pohon untuk menahan air hujan sudah ditebang semua,” katanya.
Dinas LHK NTB mencatat, perambahan hutan secara masif terjadi sejak reformasi 1998.
Terutama tahun 1999 kasus pembalakan liar meningkat signifikan.
”Sejak reformasi terus sampai sekarang dengan program tanaman semusim tambah habis lagi,” katanya.
(*)