TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nusa Tenggara Barat (NTB) mengkritisi progres Provinsi NTB dalam upaya mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050, yang sepuluh tahun lebih cepat dibanding target nasional pada 2060.
Dalam diskusi publik bertajuk ”Ancaman PLTU Captive dan Co-Firing Biomassa di NTB: Solusi Palsu Transisi Energi?" Walhi menilai langkah-langkah konkret menuju energi bersih masih jauh dari harapan.
Direktur Walhi NTB, Amri Nuryadin, menyatakan bahwa meski pemerintah provinsi telah mendeklarasikan komitmennya terhadap NZE sejak tahun 2024, nyatanya hingga kini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara masih menjadi tulang punggung pasokan listrik di NTB.
“Kawasan NTB memiliki status lingkungan khusus dan juga wilayah tambang yang luas, ini menjadi tantangan. Ironisnya, PLTU batu bara justru masih dipertahankan untuk menyokong kebutuhan listrik,” kata Amri dalam diskusi yang turut dihadiri berbagai elemen masyarakat dan aktivis lingkungan, Selasa (12/8/2025).
Menurutnya, penggunaan batu bara di seluruh PLTU di NTB mencapai hampir 4.500 ton per hari. Angka yang sangat tinggi ini, menurut Amri, berdampak langsung terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
“Contohnya di Desa Taman Ayu, Lombok Barat. Dulu dikenal sebagai sentra produksi bawang, sekarang sudah tidak lagi ini dugaan dampak aktivitas PLTU. Di wilayah pesisir Jeranjang, nelayan harus melaut lebih jauh karena daerah tangkap mereka terkontaminasi,” ujarnya.
Baca juga: WALHI NTB Peringatkan Risiko Kerusakan Ekologis pada IPR di Sumbawa
Lebih lanjut, Walhi menilai bahwa tidak ada tahapan konkret dalam perencanaan menuju NZE yang dapat menjamin transisi energi bersih secara nyata.
Bahkan, co-firing atau pencampuran batu bara dengan biomassa seperti sekam padi dan serbuk kayu dinilai hanya memperpanjang usia penggunaan energi kotor.
"Kami walhi memandang tidak ada satu tahapan penting kemudian memberikan jaminan bahwa energi NZE bisa diterapkan di NTB," ucap Amri.
Co-Firing Dinilai Bukan Solusi Jangka Panjang
Aktivis lingkungan NTB, Juaini Juain, turut menyoroti strategi co-firing sebagai langkah yang kontraproduktif terhadap tujuan NZE.
“Kalau co-firing terus dijalankan, artinya PLTU tetap eksis. Jadi, kapan NZE bisa tercapai? Ini sama saja seperti tetap melakuakan pembakaran,” tegas Juaini.
Ia menyebutkan bahwa implementasi co-firing di PLTU Jeranjang Lombok Barat membutuhkan 5 persen bahan bakar biomassa per bulan, atau sekitar 2.047 ton. Namun realisasi di lapangan baru mencapai 3,8 persen , setara 1.840 ton. Kondisi serupa juga terjadi di PLTU Sumbawa Barat, di mana realisasi co-firing hanya 3,9?ri target 5 persen .
“Kalau ini terus berlangsung, ketakutan akan berpotensi berdampak pada hutan kita bisa habis karena dijadikan bahan bakar. Seharusnya NTB berinvestasi pada sumber energi bersih seperti tenaga surya dan tenaga laut. Namun saat ini, kapasitas energi terbarukan yang terpasang baru sekitar 17 megawatt-hour (MWh), jumlah yang sangat kecil dari total kebutuhan,” tambahnya.
Baik Walhi maupun para aktivis lingkungan menyerukan agar Pemprov NTB segera memperjelas roadmap menuju NZE. Tidak hanya dengan mengurangi ketergantungan pada batu bara, tetapi juga dengan investasi serius pada energi terbarukan yang berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.
“Diskusi ini kami gelar sebagai referensi publik, agar ada tekanan moral dan kebijakan bahwa NTB harus segera punya tahapan yang konkret. Jangan hanya jargon,” tutup Amri.
(*)