Berita NTB

Marak Kasus Kekerasan Seksual di Ponpes, Aliansi Desak Evaluasi Kemenag dan DP3AP2KB NTB

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Perwakilan Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, Yan Mangandar Putra.

TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Gelombang kasus kekerasan seksual yang terjadi di sejumlah pondok pesantren (ponpes) di Nusa Tenggara Barat (NTB) kembali menjadi sorotan publik.

Kondisi ini tidak hanya mencoreng citra lembaga pendidikan berbasis keagamaan, tetapi juga menggugah keprihatinan banyak pihak terhadap lemahnya perlindungan bagi anak-anak sebagai korban.

Perwakilan Aliansi Stop Kekerasan Seksual NTB, Yan Mangandar Putra, secara tegas menyerukan agar pemerintah segera melakukan evaluasi terhadap dua pejabat penting di provinsi ini, yakni Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) NTB dan Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB.

Menurut Yan, Kepala Kemenag NTB telah berkali-kali mengumbar janji untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pesantren yang berfungsi meningkatkan kapasitas SDM melalui pelatihan dan edukasi dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan.

Janji terakhir disebutkan akan direalisasikan pada Juli 2024, dengan melibatkan wali santri, LSM, aparat penegak hukum, dan instansi terkait. Namun hingga kini, rencana tersebut dinilai belum terealisasi secara konkret.

"Sikap tidak konsisten dari Kepala Kemenag NTB ini tidak bisa dibiarkan. Ini menyangkut kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagian korbannya adalah anak-anak. Seharusnya Menteri Agama RI turun tangan dan mengevaluasi secara serius," tegas Yan.

Baca juga: OPINI: Meneropong Keadilan Pelaku Kekerasan Seksual oleh Disabilitas dan Sistem Hukum yang Inklusif

Tak hanya menyasar Kemenag, kritik tajam juga diarahkan kepada DP3AP2KB NTB. Meskipun kewenangan utama pondok pesantren berada di bawah Kemenag, Yan menilai Kepala DP3AP2KB NTB tidak menunjukkan komitmen kuat dalam melindungi anak-anak NTB.

"Anak-anak yang menjadi korban adalah masa depan NTB. Tidak bisa dibiarkan begitu saja hanya karena urusan kelembagaan. Pemerintah daerah punya tanggung jawab moral dan konstitusional," tambahnya.

Ia menilai DP3AP2KB NTB yang bersikap acuh menjadi salah satu alasan mengapa Gubernur NTB mempertimbangkan peleburan dinas tersebut ke dalam Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap kinerja dinas yang dinilai belum maksimal dalam perlindungan perempuan dan anak.

Situasi ini, menurut Yan, seharusnya menjadi momen penting bagi seluruh pemangku kebijakan di NTB untuk memperkuat sistem perlindungan anak dan tidak hanya berhenti pada wacana.

Ia mengegaskan masih tingginya angka perkawinan anak, kemudian bertambahnya joki anak yang tewas di pacuan kuda trasional di Bima, hingga kasus kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan termasuk ponpes.

"Kita butuh tindakan nyata, bukan hanya narasi indah di podium atau dalam berita media. Korban sudah terlalu banyak, dan waktu kita tidak banyak lagi," tutupnya.

(*)

Berita Terkini