TRIBUNLOMBOK.COM - Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjatuhkan vonis terhadap Harvey Moeis lebih berat dari putusan Pengadilan Tipikor Jakarfa yakni 6,5 tahun penjara.
Selain memperberat vonis hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mewajibkan suami Sandra Dewi itu membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider 8 bulan penjara.
Tak hanya itu, ia dikenai kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 420 miliar.
Hal yang sama juga berlaku untuk Helena Lim.
Hukumannya diperberat dari 5 tahun menjadi 10 tahun.
Helena juga dikenakan denda Rp1 miliar.
Keduanya disebut terbukti melakukan korupsi dan tindakan pidana pencucian uang secara bersama-sama yang menimbulkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun.
Prof Romli Atmasasmita Sebut Putusan Terhadap Harvey Moeis Tidak Tepat
Menanggapi hal ini, Guru Besar Bidang Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita menyebut putusan banding terhadap Harvey Moeis dan Helena Lim yang lebih berat dari vonis sebelumnya sebagai miscarriage of justice atau putusan sesat.
Hal ini mengingat sejumlah kejanggalan dalam pertimbangan hukum yang diambil oleh majelis hakim.
Baca juga: Prediksi Skor Persebaya Surabaya vs PSBS Biak Liga 1 Sabtu 15 Februari 2025 Jam 18.30 WIB, Link Live
"Tidak terbukti suap dan tidak terbukti gratifikasi. Kerugian negara dalam putusan pengadilan bukan kerugian nyata (actual loss), namun hukuman Harvey Moeis justru diberatkan menjadi 20 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp 420 miliar. Ini tidak tepat," ucap Romli, Kamis (13/2/2025).
Romli yang juga salah satu perancang undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) itu menegaskan, uang pengganti Rp 420 miliar yang dibebankan kepada Harvey Moeis tidak dilengkapi dengan bukti yang sah.
"Uang pengganti tersebut terbukti tidak diterima oleh Harvey Moeis. Nilai Rp 420 miliar juga tidak didukung oleh bukti yang kuat," ujarnya.
Selain itu, dakwaan pemufakatan jahat antara Harvey Moeis dan terdakwa lain juga dinilai tidak terbukti selama persidangan.
"Dakwaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini secara normatif berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 bukanlah tindak pidana korupsi. Pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi," jelas Romli.
Baca juga: Prediksi Skor Madura United vs Dewa United Liga 1 Sabtu 15 Februari 2025 Jam 15.30 WIB, Link Live
Lebih jauh dijelaskan Romli, hukuman terhadap Harvey Moeis juga dinilai tidak proporsional.
Pasalnya menurut dia, hukuman penjara yang awalnya 6,5 tahun naik menjadi 20 tahun, sementara uang pengganti dari Rp 210 miliar melonjak menjadi Rp 420 miliar.
"Ini menunjukkan bahwa Harvey Moeis dianggap sebagai aktor intelektual, padahal fakta persidangan membuktikan sebaliknya," tegas Romli.
Terkait hal ini dia beranggapan bahwa Harvey Moeis sendiri bukanlah penyelenggara negara maupun direksi PT Timah.
Sebab Harvey kata Romli hanya terlibat dalam kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang, yang notabene bukan penambang liar melainkan warisan turun-temurun.
"Harvey Moeis dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP) padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," tambah Romli.
Tak hanya terhadap Harvey, Romli juga menyoroti vonis banding yang dijatuhkan terhadap Helena Lim yang notabene dianggap hanya sebagai pengusaha money changer.
Dalam putusan banding, Helena kata dia justru dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti kepada terdakwa sebesar Rp 900 juta.
"Helena dan Harvey Moeis sama sekali tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 317 triliun. Kerugian tersebut hanya berdasarkan perkiraan BPKP yang bertentangan dengan UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara," jelas Romli.
Sementara itu di sisi lain, Pakar Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono menilai kasus ini seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi.
"Kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan. Penyelesaian yang tepat adalah melalui gugatan perdata, bukan Tipikor," ujar Yoni.
Menurut Yoni, UU Lingkungan Hidup Tahun 2009 memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap subjek hukum lain, termasuk warga negara dan badan hukum.
"Ini pertama kalinya pemerintah memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perdata. Hitungan kerugiannya pun sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014," jelasnya.
Yoni menjelaskan, jika tujuannya adalah untuk mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah ini, jalur perdata lebih memungkinkan.
Terlebih jika nilai kerugian negara masih belum jelas dan masih diperdebatkan.
"Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana korupsi? Ini keliru. Jangankan (divonis) 20 tahun, hukuman 6,5 tahun (Harvey Moeis) pun tidak tepat," tegasnya.
Yoni menyarankan agar upaya hukum lanjutan dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA).
"MA masih bisa membatalkan putusan ini jika melihat secara utuh dari memori kasasi. Jika pelanggaran lingkungan hidup, maka harus dilihat berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," ujarnya.
Dia pun mengatakan, dengan jalur perdata benang kusut kasus ini dapat diurai hingga menemukan siapa seharusnya yang bertanggung jawab atas kerugian lingkungan yang timbul atas aktivitas pertambangan itu.
"Perdata bisa melibatkan semua pihak, baik pemilik lama (perusahaan) maupun baru. Ini lebih adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku," pungkas Yoni.
Profil Prof Romli Atmasasmita
Melansir Kompas.com, Romli Atmasasmita pernah terjerat kasus korupsi ketika masih menjabat di Departemen Hukum dan HAM.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (7/9/2009), menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan kepada mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) Romli Atmasasmita terkait kasus korupsi pada Proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkumham.
Vonis tersebut teregister pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 701/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel tanggal 7 September 2009.
Romli Atmasasmita dikenai dakwaan keempat, yakni Pasal 3 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perubahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi.
Ia juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar 2.000 dollar AS dan Rp 5 juta subsider dua bulan penjara.
Sebelumnya, Romli Atmasasmita dituntut jaksa dengan hukuman lima tahun penjara terkait kasus dugaan korupsi pada Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum).
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum, terdakwa diduga telah menerima dana akses fee pada Sisminbakum sebanyak Rp 1,3 miliar.
JPU menyebutkan akses fee dari Sisminbakum sejak April 2001 sampai November 2008 mencapai angka Rp 420 miliar. Dari jumlah itu, JPU menyebutkan Rp 379 miliar diterima oleh PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD) sebagai rekanan proyek Sisminbakum. Dana itu juga mengalir ke Koperasi Pengayoman Dephuk dan HAM sebesar Rp 18 miliar dan Dirjen AHU sebesar Rp 18 miliar.
Romli Atmasasmita mengajukan banding atas putusan majelis hakim tingkat pertama tersebut.
Di Tingkat Banding, dalam putusannya Nomor: 345/Pid/2009/PT. DKI Jakarta tanggal 20 Januari 2010, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan Putusan di tingkat Pertama.
Romli Atmasasmita dinyatakan lepas dari jeratan tuntutan dalam perkara korupsi Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbankum) oleh Mahkamah Agung di tingkat Kasasi.
Ketua majelis kasasi perkara sisminbakum, Muhammad Taufik mengatakan ada tiga alasan kenapa Romli tak bersalah.
Pertama, Romli dinilai tidak mendapatkan keuntungan dalam Sisminbakum. Kedua, dari tindakan Romli, negara tidak dirugikan. Ketiga, pelayanan publik lewat Sisminbakum tetap berjalan.
Kasus Sisminbankum sendiri akhirnya dihentikan oleh Jaksa Agung Basrief Arief pada tahun 2012.
Biodata
Romli Atmasasmita lahir 1 Agustus 1944.
Gelar: Prof. Dr. S.H., LL.M
Pekerjaan: Akademisi di Unpad
Riwayat Pendidikan
- Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad), tahun 1969;
- Master of Laws dari University of California, Berkeley, tahun 1981;
- Doktor dalam ilmu hukum dengan predikat cum laude dari Universitas Gajah Mada, tahun 1996.
Karier
- Dosen tetap pada Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) (1971 -saat ini);
- Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Pasundan (1976-1980);
- Pembantu Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (UNPAD) (1983-1989);
- Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan, Departemen dan Hukum dan Perundang-undangan (1998-2000).
- Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan HAM (2000-2002);
- Kepala Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM (2002-2004);
- Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) pada tahun 2007.
Pengalaman Organisasi
- Wakil Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (1990-2008);
- Kordinator Program Doktor (S3) Ilmu Hukum Unpad (2004),
- Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana & Kriminologi Indonesia (2008-2013).
- Ketua Delegasi RI pada ASEAN Senior Law Official Meeting (ASLOM) Juni 1989 di Singapura;
anggota Delegasi RI ke Konferensi Global Antikorupsi, 24-26 Februari 1999, di Washington DC, Amerika Serikat; - Ketua Delegasi RI pada Preperation Meeting untuk Konferensi TOC-Wina di Bali 1999.
- Ketua Delegasi RI ke Konferensi Asia-Pasifik tentang Money Laundering, 4-6 Agustus 1999 di Manila, Filipina;
- Ketua Delegasi RI pada Konferensi PBB untuk membahas draft Konvensi mengenai Pemberantasan
- Kejahatan Transnasional Terorganisir, di Wina-Austria, Juni 1999 dan 4-8 Juni 2000.
- Ketua Delegasi RI pada sidang Ad Hoc Committee on the Negotiation of the United Nations Convention
- Against Corruption, di Wina-Austria tahun 2000 s/d tahun 2003;
- Ketua Delegasi RI pada ASEAN Senior Law Official Meeting (ASLOM), tanggal 14-18 Juni 2002 di Bangkok.
- Chairman Sidang ASEAN Legal Officer Program, Juli 2003.
Sumber: Tribunnews dan Tribunbengkulu