Laporan Wartawan TribunLombok.com, Andi Hujaidin
TRIBUNLOMBOK.COM, MATARAM - Pakar Hukum sekaligus akademisi Universitas Mataram Dr Ufran berpendapat kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh I Wayan Agus Suartama alias Agus penyandang disabilitas terhadap korban merupakan sesuatu yang biasa terjadi.
Ia menyebut, kasus berdasarkan jurnal yang telah didalaminya bahwa kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyandang disabilitas juga banyak terjadi di berbagai belahan dunia.
"Itu umum saja, cuman keunikan kasus ini dari pola ataupun tipologi yang biasanya korbannya perempuan itu umumnya yang melakukan kekerasan seksual itu saling mengenal biasanya," katanya Selasa (3/12/2024).
Ufran melihat bahwa dengan adanya kasus tersebut dapat dijadikan dasar untuk mendalami terkait dengan pelecehan seksual yang dilakukan tanpa adanya saling kenal mengenal di antara keduanya.
"Tidak saling mengenal pelaku ini, itu letak uniknya, mungkin ini harus didalami ya dari psikologi klinis ya relasi apa yang terbangun," ujarnya.
Selain itu, ia pun mengapresiasi keberanian korban yang melaporkan diri sesaat setelah dilakukan pelecehan terhadap dirinya.
"Serangan seksual terhadap dirinya patut dihormati, karena kalau korban yang berani berbicara atau speak jadi perlu diapresiasi. Karena kekerasan seksual itu adalah kejahatan tanpa saksi, tidak ada orang perkosa orang itu tidak mungkin mengajak orang atau di live kan, nggak ada," katanya.
"Kalau dari situ sebenarnya, ketika korban berbicara bahkan sesaat kejadian dia langsung melaporkan itu sangat luar biasa. Kita harus berempati untuk hal itu," sambungnya.
Baca juga: Kasus Pelecehan Seksual Pria Disabilitas, Psikolog Sebut Agus Punya Kecerdasan Interpersonal
Di sisi lain, Ufran menilai, kehebatan si pelaku ini dalam menempatkan posisinya sebagai orang yang tidak memiliki kekuatan apa-apa. Sehingga itu menurutnya akan mendapatkan simpati publik.
"Pelaku ini menempatkan dirinya inoncen dia menempatkan dirinya tidak tahu apa-apa, sejak awal dia menempatkan posisinya sebagai korban, karena melihat keterbatasan fisiknya. Saya ini dituduh melakukan itu padahal saya tidak bisa melakukan apa-apa, pelaku saya lihat melakukan alibi," terangnya.
Ufran pun memberikan masukan terkait dengan penanganan kasus tersebut. Bahwa perlu adanya pembuktian terhadap apakah ada konsensus atau tidak diantara mereka berdua.
"Pertama yang paling penting itu apakah itu berdasarkan ada konsensus atau tidak dalam insiden yang terjadi. Jadi relasi seksual itu harus ada membuktikan itu. Untuk melihat ada apa tidaknya konsesus ada dua indikator yakni pembuktian yang sifatnya medis dan pembuktian yang sifatnya psikologis," terangnya.
"Untuk membuktikan itu ada diwilayah pengadilan," sambungnya.
Kemudian, soal apakah ada penetrasi atau tidak terhadap pelaku kepada korban itu juga harus dibuktikan agar bisa mendapatkan hasilnya apakah kasus pemerkosaan atau hanya pencabulan.
"Sangat membantu ketika korban melaporkan tidak lama dari kejadian, jadi identifikasi itu akan mudah dan saya yakin bukti bukti itu akan ditemukan pada tubuh korban," tandasnya.
Lebih lanjut Ufran pun menyarankan kepada penyidik agar menggunakan lie detektor atau pendekatan kebohongan untuk membantu kerja-kerja penyidikan.
(*)