Lombok Timur

Nasib Warga Kampung Konveksi di Lombok Timur, Tak Ada Bantuan Pemerintah, Bertahan dengan Upah Murah

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Warga yang sedang melakukan aktivitas menjahit di setiap teras rumah miliknya menjadi pemandangan yang biasa ditemukan di kampung Dasan Timuk Desa Selagik Kecamatan Terara Kabupten Lombok Timur.

Laporan Wartawan TribunLombok.com, Ahmad Wawan Sugandika

TRIBUNLOMBOK.COM, LOMBOK TIMUR - Warga yang sedang melakukan aktivitas menjahit di setiap teras rumah miliknya menjadi pemandangan yang biasa di kampung Dasan Timuk Desa Selagik Kecamatan Terara Kabupten Lombok Timur.

Tak ayal Desa yang berada cukup jauh dari pusat keramaian di Kecamatan Terara ini kerap dikenal sebagai kampung konveksi yang telah eksis sejak tahun 1980-an.

Di sini, hampir 90 persen warganya menggeluti dunia jahit-menjahit dan mematok harga jual murah, ongkos jahit satu baju seragam SD dikenakan Rp5 ribu.

 Seorang penjahit Nasrudin menceritakan, sudah puluhan tahun masyarakat di Desa Selagik hanya menggantungkan hidupnya dari hasil produksi menjahit.

“Cuman sekarang ibaratnya kita di sini ya hidup segan mati tak mau itu dah pak, sejak lama kami di sini tidak pernah tersentuh bantuan pemerintah, palah-palah modal, program pemberdayaan pun nggak pernah,” ucap pemilik perusahaan konveksi Nazril Collection itu, Senin (18/11/2024)

Bahkan, setiap rumah yang ada di desa ini dikatakan Nasrudin pasti memiliki mesin jahit.

Namun tidak semua dari mereka bisa mendapatkan keuntungan dari hasil produksi yang memang kerap dijual murah.

Memang, untuk hasil produksi sendiri penjahit di Desa Selagik tidak pernah mematok harga mahal, kisaran biaya yang dikeluarkan pun terbilang cukup murah yakni Rp5 ribu sampai Rp15 ribu per satu baju.

“Kita di sini produksinya kalau semisal ada pesanan saja, kebanyakan adalah baju sekolah, jadi kami matok harga untuk satu baju yang sudah jadi ini Rp5 ribu saja,” sebut Nasrudin sembari menunjukkan baju seragam sekolah SD hasil jahitannya.

Walaupun murah, Nasrudin memastikan kualitas jahitan masyarakat di Desa Selagik tidak kalah dengan produksi luar.

Hal ini ditandai dengan hasil produksinya yang kerap dipakai merek-merek terkenal di daerah.

“Hasil produksi kami dari dulu itu 3 Jaya S. itu, jadi seleksinya menyerahkan kain ke kita dan kita buatkan di sini, nanti itu yang dipasarkan di luar seperti Cakra dan pasar pasar yang ada di NTB,” katanya.

Meski demikian, aktivitas menjahit menjadi sumber pendapatan utama masyarakat di Desa tersebut.

Jika tak ada orderan dari buyer, warga terpaksa harus keluar menjual hasil jahitan yang dibuat dari sisa kain hasil produksi.

“Kalau nggak ada pesanan dari buyer kita manfaatkan sisa kain yang ada, itu kita buat jadi celana hingga keset, itu kita jual sendiri kadang sampai harus jalan ke kampung-kampung,” ungkapnya.

Kondisi ini menurutnya sangat sulit di kalangan penjahit, sampai saat ini bantuan yang diharapkan dari pemerintah tak kunjung turun ke Desa Selagik.

“Harapannya sih pak kita dapat bantuan lah, kalau nggak bisa berupa mesin jahit ya paling tidak modal,” harapnya.

“Kalau saya lihat di daerah lain ada penjahit ya sedikit tapi dia dapat bantuan, kita di sini boro boro dapat bantuan, dilirik saja mungkin nggak (sama pemerintah),” tutupnya

Kondisi yang dihadapi penjahit diakui pula oleh Camat Terara, Lalu Haryadi, dia juga mengharapkan Pemdes memperhatikan masyarakatnya dengan serius.

“Ini makannya kita minta Desa supaya uang yang begitu banyak yang mereka kelola dimanfaatkan dengan baik, saya nggak pungkiri bahwa penjahit di Desa ini (Selagik) sangat miris saya rasa,” ungkapnya.

Oleh karena itu, dia menawarkan ide supaya Pemdes bisa memberdayakan masyarakatnya lewat pemanfaatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

“Mungkin kalau saya bisa kasih saran kenapa BUMDes ini tidak membeli saja produksi dari masyarakat di sini terus pihak desa nanti yang keluar memasarkannya, penguatan brand juga harus dilakukan,” sebutnya.

Hingga lanjut dia, jika pemanfaatan BUMDes berjalan baik, akan ada tambahan anggaran yang juga diterima desa hingga besarannya Rp300 juta.

“Dengan BUMDes ini jamak jamak Kemendagri kasih anggaran dengan model pencelengan, setiap tahun Rp300 juta sebagai sumber PADes, kan itu bisa lah untuk menyejahterakan pengerajin kita ini,” ungkapnya.

“Namun saat ini kita tunggu, serius nggak ya Desa ini, yang saya dorong bukan hanya di Desa Selagik saja, namun juga di semua Desa di Kecamatan Terara,” tutupnya.

 

Berita Terkini